Monday, January 21, 2008

Tentang Senja






Melarung senja
menikmati senja
memanjakan mata dengan senja
membayangkan senja....

Tentang senja adalah tentang kesempatan melihat keagungan Tuhan.
siluet cahaya berpendar genit, menggoda.
ada syahdu,
ada sendu,
ada haru...

Jangan lupa mengabadikan senja.
dimanakah senja tercantik yang pernah kau lihat?
senja di Lombok, amat bagus,.
sinarnya yang meredup, berkerecap disisi-sisi daun kelapa.
latar belakang pantai semakin mempercantiknya.
siluet senja selalu menjadi kekasih yang kurindukan.
namun lebih mengharukan senja di bumi Parahyangan.

Senja disana adalah senja terindah.
memandang senja sekelebatan seolah diperlihatkan memori kala kecil.
di kala senja itulah eyang Bandung harus sekuat tenaga memanggil-manggil ketiga cucunya yang nakal-nakal untuk kembali ke rumah.
cuci tangan, cuci kaki, membersihkan badan...
"Sebentar lagi Maghrib. Ayo, masuk ke rumah,"suara eyang terus berdengung ditelingaku.

Senja,
jangan kau pergi hanya menyisakan memori semu nan pedih.
janji, ya, esok sore kau'kan kembali menyambangiku.
kutunggu pijaran cahaya magismu dari jendela di lantai dua, Tenabang III.

~Kala surya tak lagi bersenggama dengan senja yang memerah~

Pundi Uang Nenek Poni

Seribu, dua ribu,...sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu....

"Ya ampun Riii, masak lo tiap menit ngitung duit mulu, sihhh,"ungkap AMBS sambil ketawa ngakak lihat gaya saya mengumpulkan pundi-pundi uang. Lho, ya ngga papa tho, saya menghitung. "Uang ini amanah lo, mas,"urai saya ikutan ngakak.

Uang itu benar-benar amanah dari seorang nenek yang perlu saya jaga. "Trimakasih ya, mbak, melu ngrewangi nggolek pangan putu-ku,"ungkap nenek itu.

Fokus saya memang agak berubah minggu ini. Tapi tidak membuat saya malu melakukan itu. Yang penting, kan halal :)

dua puluh ribu...tiga puluh ribu, empat puluhh... Hap. Nenek itu pastilah senang mendapatkan pundi-pundi uangnya semakin bertambah. Saya dapat membayangkan, setiap bulan, anak dan cucu-nya di Ponorogo akan kegirangan mendapat kiriman wesel pos dari seorang Nenek Poni.

Friday, January 04, 2008

Cerita Dari Sudut Jendela





Kereta api adalah sarana belajar hidup. Gerbong panjang berusia puluhan tahun merupakan tempat mengurai makna. Saya selalu menyukai kereta api. Menggunakannya sebagai alat transportasi sungguh menyenangkan. Selain hemat biaya juga membuat kita bisa lebih dalam melihat realitas kehidupan.

Bukan berarti ketika menaiki tumpangan lainnya kita tidak bisa melihat kehidupan. Menggunakan transportasi darat, laut dan udara lainnya-pun, mata kita tetap dibukakan pada kenyataan kehidupan. Hanya saja realitas kehidupan tergambar dari angle yang berbeda.

Duduk dibangku kereta sebenarnya tidak melulu membuat saya duduk manis. Tangan saya pasti sibuk memformat dan mencari posisi pas untuk menjepret dibalik kaca kereta yang berdebu dan agak buram. klik disini..saya menekan tombol capture. Selesailah satu gambar terdokumentasikan. klik disana..lengkaplah kepuasan saya mengabadikan sisi lain kehidupan.

Saya mendapatkan apa?

Saya mendapatkan cerita bahwa ada sawah petani yang terendam air hujan padahal bila itu tidak terjadi, mereka bisa bersuka cita memanen padi.

Saya juga mendapatkan cerita bahwa ada orang-orang yang saking seringnya mendengar deru kereta-karena rumah bersebelahan dengan jalur kereta api-mereka malah jadi kebal dengan kebisingan kereta. Kawasan perumahan kumuh menjadi bingkai kehidupan dipinggiran jalur kereta.

Rumah-rumah triplek bersejajar dengan rumah tembok permanen. Kedua jenis rumah tersebut saling melengkapi dalam alunan nafas bumi. Jemuran baju terpampang disudut-sudut rumah. Namun, mereka tetap bisa tertawa. Bahkan di gang sempit berdiameter 1,5 meter, yang memisahkan letak rumah satu dengan lainnya, para ibu muda saling mencandai anak balita mereka.

Kawan, tak perlu heran mendapati hal semacam itu. Dalam hati miris menanggung kenyataan yang harus dihadapi, tetap ada senyum tersungging dan tawa ceria. Di suatu perjalanan kereta Jakarta-Bandung, saya masih bisa mengabadikan keceriaan sekelompok anak muda berkejaran, menggiring bola. Di tanah yang cukup lapang, bersebelahan dengan kawasan pabrik dan perumahan petak, masih ada semangat. Bahkan mereka rela dihujani oleh rintik dari langit sekadar "mengejar dan menggenggam" semangat tersebut.

Dalam sekelebatan penglihatan yang dibatasi oleh kaca jendela retak, saya tak luput mendapati kesan tersebut. Mata saya tak hentinya merekam panggung sandiwara itu. Mereka orang-orang tangguh, kuat dan tegar. Sesungguhnya itulah mereka. Namun, lambat laun tersingkir oleh dinamisasi gerak dunia yang semakin hedon dan tidak memberdayakan.

Mereka kaum marjinal. Kaum yang terbentuk akibat keegoisan "wong kuto". Betul, mereka sekarang menjadi orang kota juga. Tapi perlu diingat, ada kesenjangan sosial yang begitu jauh. Bila mata rantai sebab-akibat coba diurutkan satu persatu, keterpurukan mereka disebabkan karena kurangnya akses pendidikan. Porsi pelayanan pendidikan antara ibu kota dengan daerah lainnya berbeda.

Saya sedih. Kesedihan saya bukan hanya karena melihat kenyataan tersebut. Kepiluan saya terutama karena saya belum berbuat apapun untuk membantu mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Cerita di balik jendela retak membuat hati terkoyak. Namun apa daya tangan tak sampai...

There's a way to solve problem. Let's give them a hand with our support.

Tahun Baru, Antara lupa dan Resolusi

Alhamdullilah. Sepatutnya saya mengucap syukur. Saya sudah melewai waktu setahun dengan damai, relatif tanpa guncangan keras. Diawal tahun seperti yang pernah saya sampaikan pada rumah terdahulu
saya dirundung gulana dan sedih yang cukup dalam. Saya hanya bisa menikmati tahun baru dengan nanda kecil dan keluarga yang tidak dekat dihati. Saya menysukuri itu juga. Namun ada yang berbeda dengan tahun ini. Ketika para tiga Diva di Hotel Grand Melia menghitung mundur, 3,2,1, 2008 !!! saya melihat "drama" kehidupan itu di depan televisi bersama eyang dan Ibu. Eyang tampak duduk diam dengan sikap rapih, yaitu sikap duduk rapat tangan "ngapurancang" dan pandangan sendu melihat gelagat para artis yang semarak.

Serta merta Ibu menghampiri eyang. "Ibu...selamat tahun baru, yaaa,"ucap Ibu saya sumringah pada Ibunya. Dengan gerakan refleks saya-pun menghampiri eyang dan ikutan mengecup kedua pipinya. Kami semua bersuka cita. Kami semua sepatutnya bersyukur masih mempunyai ruh yang tetap terjaga dalam relung kalbu.

Tapi seharusnya kami, kita, juga perlu ingat-ingat nii, apa kesalahan ditahun sebelumnya. Refleksi? Iya, saya pikir itu tetap penting supaya tidak "tersandung dan jatuh dikubangan lumpur yang sama". Adalah suatu kewajaran bila kita lupa dan khilaf.

"Riri, resolusiku tahun ini mau membenarkan ibadahku dulu. Mungkin segala masalah selama ini karena shalat-ku belum betul,"ujar mbak Tutut bijak. Saya-pun mengiyakan dan sangat setuju dengan ide itu. Jangan tanya deh bagaimana kepatuhan saya sholat. Amburadul. Jangan tanya juga berapa kali saya bertahajud-ria. Lha wong shalat lima waktu saja bolong-bolong. Walah ini lupa apa sengaja sih?

Kami berdua pergi ke toko buku Gramedia Semanggi. Saya dan mbak ituh menghampiri stand buku agama. Kamu tahu apa yang kami beli? Masing-masing dari kami membeli dua buku tata cara sholat dan keistimewaan sholat lima waktu. Namun, selain membeli tata cara sholat yang baik, saya juga membeli buku Keistimewaan Sholat Shubuh. Ampuuun deh. Jujur, saya paling tidak bisa bangun pagi. Hal ini berbeda ketika saya di Cilegon dan di Jogja. Saya pasti bangun pagi dan masih sempat sholat Shubuh sebelum lari pagi berkeliling UGM.

Di Jakarta, ibadah saya semakin minim. "Riri, barusan ada yang bertanya padaku waktu aku lagi baca buku tata cara sholat. "Mbak, muallaf?","mbak Tutut menirukan kembali pertanyaan si lelaki penanya itu. Kemudian mbak Tutut mengiyakan kalau memang benar ia adalah muallaf. Lelaki itu kebingungan ketika mbak Tutut menambahkan bahwa ia menjadi muallaf sejak kecil. "Iya mas. Saya muslim tapi sholat saya bolong-bolong. Sekarang saya mau memperbaikinya,"jawaban mbak Tutut.

Benar juga ya. Saya masih bermental muallaf. Bahkan mungkin pengeahuan seorang muallaf lebih banyak ketimbang saya yang sudah dimuslimkan sejak bayi. "Semakin banyak gue ngeliput tentang dunia kesehatan terutama di ruang operasi, gue semakin ngerasa kalau dunia itu fana, Rie,"ungkap mbak Chris tiga tahun lalu.

Ya sudahlah. Mari kita perbaiki diri. Semoga kita bisa menjembatani dan kembali menyambungkan ingatan akan kealpaan dimasa lalu dan membuat resolusi mendatang.
Berikut ini Karlina Supelli memberikan pemahaman menarik tentang penyikapan tahun baru. Silahkan lihat saja link-nya, yaa. Lanjuuuut, yuuuks.

Republik Alpa-Karl Supelli

Jurus Marketing Jitu

Saya kesal. Iya, bener deh. Jujur, kesal saya semakin menjadi. Awalnya ada rasa senang yang menyeruak, ada harapan yang timbul sejak membaca iklan beasiswa. Iklan yang terpapar di sebuah koran nasional berbahasa Indonesia yang katanya beroplah tertinggi di dunia, membuat saya kepincut.

Langsung saja saya meng-klik website beasiswa dari sebuah perusahaan Jepang tersebut. Terdapat dua program. Salah satu programnya adalah East-West Leadership Program (EWKLP). Saya memang sudah mencetak berkas. Tapi kemudian ada pilihan untuk apply secara online yang langsung terhubung dengan Japan American Management Scholarship (JAIMS). Ternyata sekali mengklik, itu hanya dijelaskan apa proyeksi EWKLP. JAIMS merujukkan saya untuk by applying online. Tapi ternyata itu disambungkan pada program lainnya, yaitu Intercultural Management Program (ICMP).

Sbenernya aplikasi keduanya hampir mirip dan bahkan sama persis. Namun jadwal dimulainya program berbeda. Deadline aplikasi EWKLP yaitu tanggal 15 Februari. Sedangkan ICMP pada akhir January. Mbundettt. Bolak-balik selama beberapa hari ini saya berusaha mencari dimana link online EWKLP dan Fujitsu. Namun selalu tersambungkan pada link online ICMP. Saya pikir kedua program tersebut sama. Kemudian saya coba apply online. wallah, buntut-buntutnya, pada akhir lembar aplikasi tertulis, bahwa aplikasi saya tersebut tidak lengkap jika belum ada biaya pembayaran. Lha, ketahuan kannnn....

"Itu namanya jurus marketing jitu jaman sekarang. Sekarang coba deh lu pikir, dapet apa sih JAIMS kerja sama dengan perusahaan itu. Beasiswa itu cuma ajang promosi doang,"cetus Edoy.

Saya yakin bahwa perusahaan Jepang itu benar-benar membuka kesempatan beasiswa. Namun cara yang berbelit seperti sengaja mengarahkan kita untuk mencoba melamar online dan tersambung dengan lembaga pendidikan profit. Awalnya demi alasan efisiensi waktu dan biaya saya berharap untuk mengirimkannya via online dan melalui perwakilannya di Jakarta.

Tapi di peraturan tertulis bahwa semua berkas dikirim langsung ke markas besar di Hawaii. Bahkan yang sangat mengherankan adalah meminta transkrip nilai dikirim langsung dari universitas tempat kita memperoleh ijazah itu ke Hawaii. Gile apa ya... Beasiswa prestisius semacam Fullbright atau Chevening bahkan Stuned aja rela hanya dikirim transkrip nilai dan ijazah yang terlegalisir oleh kampus.

Surat rekomendasi juga perlu dikirimkan langsung via post ke Hawaii. Kenapa sih, ngga langsung saja ke perwakilan di Indonesia ?

"Ya, itu artinya kalau lu mau ikut beasiswa, lu harus kirim langsung ke Hawaii sono," Edoy kembali ngomporin.

Menyerah??? tak usahlah ya. Tapi saya tetap tidak akan meminta kampus di kota Gudeg mengirimkannya. Ya biarkan saja saya yang sekalian melampirkan transkrip dan ijazah terlegalisir.