Monday, March 31, 2008

Domba petarung



Garut dan daerah kotamadya Bandung emang ga ada matinye untuk urusan domba petarung. Mereka sampai-sampai menternakkannya. Sudah sejak abad 19, Garut mengadakan pertandingan domba. Pertandingan seperti ini mengingatkan pada sabung ayam di Bali atau Banteng di Rhoma.

Disuatu sang yang terik, di daerah Lamajang, Kabupaten Bandung, ga sengaja saya bertemu dengan si domba hitam petarung itu. Niatnya sih waktu itu mau nyari calon narasumber. Eeeeeh, ketemu domba hitam. Wah ga ada salahnya, kan motret dulu sama domba. lagian juga tuh si mamang berdua gape banget dah pose fotonye. he.he, sebelum bertarung...poto dulu donggg.
liat aja....

Permintaan para pelaku agro cukup tinggi dalam beternak domba petarung. Domba hitam asal Garut sudah terkenal seantoero Bandung. Eka Agro Rama, sebuah lembaga penelitian-berdasarkan searching paman Google-sudah mengadakan pelatihan Budidaya Usaha Ternak Domba Garut dan Aplikasi Teknologi
Pertanian Bio Forb - Bio Triba di Kota Banjaran, Kabupaten Bandung.

ooohhh, pantesan aja, domba petarung ada disekitar Lamajang. Jalan tersebut memang menuju desa Banjaran, Kab. Bandung.

Hidup domba petarung Garut..!!!

embeeeeeeee..mbeeeeeee

Hujan Es










Baru kali ini saya merasakan hujan es. Kemarin siang sekitar jam 13.00, saya mengalaminya ketika sedang berada di rumah makan Sunda di daerah Soekarno Hatta, Bandung. Hujan es terjadi kurang lebih selama satu jam. Mas Catur yang rumahnya di Bekasi-pun ternyata mengalami kejadian yang sama. Hanya saja, hujannya es-nya tidak sedahsyat di Bandung. Itupun hanya disebagian tempat saja yang mengalami hal tersebut.

Orang-orang dirumah makan itu pada heboh karena es menyebur dari berbagai sisi rumah makan yang terbuat dari bambu dengan jendela terbuka lebar. Mereka juga sibuk memindahkan mobilnya ke basement. Bisa-bisa es batu kecil itu memecahkan kaca mobil.

Berdasarkan penjelasan dari seorang pengamat yang diwawancarai oleh wartawan Sindo, tiap satu kilometer dari permukaan bumi, suhunya bisa mencapai 1,4 derajat celcius. Fenomena alam ini berlangsung pada musim pancaroba dan frekuensinya sangat jarang. Yakni, hanya pada masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau yang terjadi pada Maret-Mei mendatang.

Turun hujan kemarin itu rasanya jadi pingin membuat saya menyanyi menyambut hujan yang jarang-jarang terjadi di Indonesia.
"tik..tik..tik..rintik hujan disiang hari..airnya turun tidak terkira.......bla..bla..bla"

Ga peduli hujan badai kayak gitu, ikan gurame asem manis tetep disantap bersama teman yang paling tidak cerewet, Afiff. Ikan yang kecipratan air hujan jadi semakin makyussss.heheheh..heheh ;)
Lihat hujan es itu saya jadi membayangkan puncak gunung Jaya Wijaya. Seru bgt sepertinya bisa ikut melihat dan menjadi saksi akan kebesaran Allah.

Tuesday, March 25, 2008

Obituari Mbak Ida



Untuk Mbak Farida yang lebih dulu pergi

Aku tak'kan pernah bisa melupakan bongkahan kenangan ketika kami menonton film Berbagi Suami di kamarnya.

Saat itu mbak Ida meminta-ku naik tempat tidurnya. Duduk bersejajar dengannya dan menatap kearah televisi di kamar kos-nya. Sesekali kami tergelak manakala melihat adegan gokil, ra nggenah, tipu muslihat yang dilancarkan para suami mata keranjang itu pada para isteri. "Wakakakakkaa, mau poligami ya kok ngono,"tawa mbak Ida berderai. Aku tahu, deraian tawa itu takkan lama. beberapa jam lagi, pasti mbak Ida akan mengeluh sakit disekitar mulut dan lidah. Operasi kanker lidah itu belum benar-benar tuntas melepaskan cengkeraman daya sakitnya yang luar biasa. "Mbak, kapan lagi kemoterapi-nya?"tanya ku disela-sela menonton film. Jadwal rencana periksa ke dokter di RS. Dharmais akhirnya meluncur dari mulutnya yang tidak bisa mengeluarkan vokal bulat penuh.

Dilain waktu, kami pernah punya kenangan. Sebelum vonis kanker lidah diketokkan palu oleh tim medis, kami pernah bercerita ngalor ngidul. Kira-kira itu dibulan pertama aku kerja di SWA. Cerita kami berputar tentang kampung masing-masing, tempat tinggal, kuliah sampai kegiatan mahasiswa yang pernah dijalani. Ternyata mbak Ida cukup aktif di kegiatan mahasiswa fotografi dan Koperasi Mahasiswa (Kopma) di kampusnya. "Itu duluu, Ri,"ucapnya merendah. Mbak Ida cukup bangga dengan unit fotografi almamaternya yang katanya sebagai penyumbang aktif para pawarta foto di berbagai media massa.

Dia kangen dengan kampusnya. "Memang kampus mbak itu seperti apa tho? Waktu aku di Jogja, sama sekali belum sempat main kesana,"dengan polos aku bertanya. "Kampus-ku itu...gini,"ucap mbak Ida sambil mengacungkan dua jempol, tanda bahwa kampusnya itu sangat oke dan siip. Dalam memorinya, UNS sebagai almamaternya terletak didataran yang agak berbukit. Penuh dengan pohon rindang. Wah, aku ga tahu deh kalau sekarang apakah keadaannya masih sama.

Rencana kami berdua yang belum kesampaian sampai sekarang dan untuk selamanya adalah berburu baju sisa ekspor di Pasar Senen. Aku tertarik bangetss kesana karena kita akan menemukan pakaian yang aneh, unik, bahkan branded tapi dengan harga yang luar biasa ngga masuk akal murahnya. "Ini aku beli baju cuma Rp. 10 ribu. Trus Yuni tak kasih tahu, bisa beli blazer harganya kurang dari Rp. 10 ribu," haaaa. aku cuma melongo. "Ning yo kui, Ri. Kita mesti merendam diair mendidih bajunya supaya nggagatel-gatel, urainya. Kami banyak mendengar, artis seperti Jamie Aditya, Naif, juga berburu pakaian dan barang aneh disana. "celana jeans Jamie Aditya aja yang dibuat tahun 50-an dan sekarang ga keluar lagi, belinya disana dan murah,"mbak HBR ngomporin.

Yah..mungkin kami memang tidak berjodoh untuk sekadar kongkow-kongkow. Keinginan untuk ke Senen pupus sudah. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana bisa mendapatkan barang yang bersih, fashionable tapi harga miring. Ya, ke ITC-lah jawabnya ;)

Tapi bener lo. Senen dan baju sisa ekspornya menyimpan memori khusus tentang mbak Ida. Aku bersyukur sempat menengoknya untuk terakhir kalinya bersama teman-teman. Aku juga beruntung bisa menemaninya minum jus yang dengan susah payah ditelannya. Ditengah rintikan hujan hari sabtu siang, aku masih diberi kesempatan oleh Allah melihat kuasa Nya.Mbak Ida mengeluh. Lidahnya terasa sangat perih menerima asupan makanan. Tegukan jus semangka sesekali dimuntahkannya. Tapi akhirnya mbak-ku yang baik hati itu mampu menghabiskanya. Jus tandas dalam waktu 30 menit.

"Waktunya tidak sampai sebulan lagi,"ucap seorang teman yang bisa menerawang perkiraan batas hidupnya. Kami tertegun.menunduk.pasrah.mungkin itu yang terbaik untuk mbak Ida. dan ternyata memang yang terbaik adalah jalan yang sekarang dilaluinya.

Ketika kami untuk terakhir kalinya melihat-nya sebelum dimasukkan dalam peti jenazah dan diboyong ke Salatiga, kami masih melihat ketegaran di raut wajahnya. "Ida, anakku yang paling cantikk.Ibu ada disamping-mu,"ujar Ibu kandung mbak Ida sembari mengusap wajah putri kedua-nya diiringi linangan air mata.

Selamat jalan mbak Farida Nawang Nurini
Semoga tenang disisi Allah.

Terimakasih untuk sejumput kenangan indah yang pernah kita lalui bersama....

Monday, March 24, 2008

Lu Jual, Gue Beli !

Pemilihan Badan Pengawas Pemilu 2009 (Bawaslu) di DPR minggu lalu menjadi perbincangan hangat di kantor kami. "Sebetulnya ada kandidat yang lebih baik, bahkan terbaik..Tapi ya itu..sudah kayak politik dagang sapi,"ulas saudari saya yang ketika itu berbaju merah.

Sebetulnya dari awal saya juga tak setuju tentang penentuan kuota keanggotaan wanita, baik di DPR maupun dilembaga independen. Ketika kuota ditetapkan, maka mau tak mau harus memenuhi sejumlah kuantitas tersebut padahal tidak ditunjang dengan kualitas para kandidatnya. Syukur-syukur kandidat perempuan yang terpilih memiliki skill mumpuni. Setahu saya menjadi anggota Bawaslu tidak saja menjadi pengawas jalannya pemilu yang Good coorporate Governance tapi mereka juga musti mempunyai konsep dan merupakan orang yang visioner.

Ternyata era reformasi sungguh tidak membawa perubahan banyak bagi terbentuknya sistem pemerintahan jujur dan adil. Kalau mau jujur, memangnya calon yang sudah di ACC oleh para anggota DPR yang terhormat itu bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Kalau mau jujur lagi, siapa sih backingan mereka. Terlalu naif rasanya kalau kita tidak melihat siapa mendukung siapa..siapa menitipkan siapa dan siapa berkepentingan disitu.

Ya, akhirnya politik dagang sapi tidak semata menjadi teori penghias buku Tata Negara saja, tapi betul-betul terealisasikan. Dari sumber yang terpercaya---cieeehhh---pemilihan anggota Bawaslu kemarin menyaring kandidat perempuan yang kapabilitasnya diragukan. "Masak dari total 200 soal, cuma 50 soal saja yang sanggup dikerjakan selama 2 jam,"ujar perempuan berbaju merah itu. Ironisnya, justru merekalah yang terpampang masuk daftar salah seorang kandidat Bawaslu. Terbukti, kan, DPR saja yang diharapkan bisa independen memilih, malah justru sangat berkepentingan dalam pemilihan kali ini. hoho..ho tentu saja. Dimana ada fulus, disitulah konstelasi politik bermain.

Huhhh, susah memang mengubah atau minimal memperbaiki mentalitas pedagang. Semua posisi politis pasti akan ada permainan politisnya. Akhiranya semuanya bermuara pada : "Lu jual, gue beli!!!"

Ni hao!

Riri, Ni hao! Duiuqi, wo cai huida ni d duanxin, wo jiao nin, Riri jie-jie huoze Riri? Wo hen gaoxing, ruguo women hui yiqi xue hanyu.. Wo ye hai xue hanyu na..


Pusing kan....????? opo tho artine?? Huhhh, mesti tanya Chen Lao shi atau Liu Lao shi....

Pulang

Pulang berarti adalah merelakan sejenak waktu kita untuk orang yang dicintai
Pulang juga berarti seperti melesakkan kepenatan tubuh dan menghampiri kehangatan
Pulang bagiku berarti banyak.
Dengan pulang aku bisa membuat orang lain tersenyum. Dengan pulang aku bisa merasa berguna. Kehadiranku, bahkan dengan hanya senyum tipis saja malah bisa membuat orang yang kita kunjungi tersenyum sangat lebar. Disitulah aku merasa berarti.

Sunday, March 23, 2008

Menengok Eyang -Part I-

Ke Jogja,
tidak kemana-mana
tidak bagaimana-bagaimana,
tidak jalan-jalan,
tidak belanja-belanja,
hanya dirumah mendengarkan keluh kesah eyang,
hanya menemani eyang duduk diserambi rumah sambil memandang hijaunya daun buah jeruk nipis, memerahnya buah Mahkota Dewa dan menikmati keteduhan yang diciptakan oleh rambatan pohon anggur.

Aku menemaninya mendengarkan kokokan ayam kate dan ayam bekisar disamping rumah.
Semua terasa seperti benar-benar pulang kampung yang terletak diareal pedesaan.
Ternyata sudah lama ia memendam rindu pada anak-anaknya, cucu-cucnya, pada Bapak, ....terutama padaku. "Oalah mbok koe ki dolan nangkene. niliki aku. Mengko tak ganti ongkose,"begitulah kira-kira eyang merindukan kepulanganku ke Jogja dalam bahasa Jawa.

Hanya sehari semalam di Sendowo, membuat aku bersyukur. Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk menengok eyang dan mendengarkan keluh kesahnya. Dia kesepian. Iya, Eyang Uti terutama, kesepian. "Sakjane aku ki butuh konco.ning yo piye meneh..."ujar eyang Uti sembari duduk termangu menghadap taman di sepetak tanah kecil. Lima anak eyang terpencar diberbagai kota. Semua cucu-nya mempunyai kehidupan masing-masing.

Aku hanya bisa diam. Tapi aku juga tidak mau eyang terlena dalam kesedihan. Akhirnya obrolan ku alihkan pada tema lainnya. kami berdua ngobrol ini dan itu tentang kami, dia, mereka, si ini, si anu dan seterusnya.

Tiba pada malam hari, cerita masih berlanjut seolah kami sudah tertinggal ribuan episode kehidupan.Eyang masih bersemangat bercerita tentang segala sesuatunya.Kadang ceritanya menjadi bahasan yang terulang. Eyang mulai pikun. Buatku itu tidak masalah. Setengah tubuhnya terbaluti selimut lorek hijau putih. Diatas kasur kami bercanda. Eyang Uti bilang kalau sekarang dia sudah tidak sanggup lagi belanja ke Pasar Kranggan. Dua tahun lalu ketika aku masih tinggal disana, Eyang masih bisa melakukan aktivitas itu. "Wah, ning aku mesti cekelan wong. Nek ra ngono aku yo..goyak-gayik,"celoteh eyang kala itu.

Friday, March 14, 2008

Acakadut Blog

Maaf blog masih acakkadut... abis aku belum sempat -mengurangi ukuran huruf profil supaya ga mlipir nyenggol garis batas. Jadinya keterangan profil kuhapus.

Tapi aku suka banget sama blog bebungaan kuning ini. Malah lebih jatuh cinta ketimbang blog sebelumnya: Anak hutan dan si Puma.

Ada yang bisa bantu akyu membetulkannya??

A balance life

+ Besok ngapain yahh?

- HAH, besok? maksudnya???

+ Jum'at.

- lhah, jum'at itu hari ini. dudul. Dikau ga pulang ke kos thoh? Sibuk ngerjain NR dikantor.

+ Oiya, lupa.maklum bentar lagi umur nambah. Ok deh kalo gitu hari ini agendaku adalah,,,beli
buku Antara Kabut dan Tanah Basah-nya Romo BB. Triatmoko. Jadi penasaran sama buku itu gara-gara
tulisan prvokativnya om Cayo. Si om "Rhoma Irama" memberi nama anaknya yang diambil dari nama
salah satu tokoh di novel tersebut.

- Trus abis itu ngapain?

+ Beli novel lagi..lagi. Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Dulu pernah baca punyanya tante
Bening Yang Nakal.
Dilemari raksasa yang dipenuhi ratusan buku itulah buku itu menjadi salah satu referensinya
tante Bening Yang Nakal+ baik hati ;) Rencananya buku itu akan kuhadiahkan pada seseorang
yang...ehemmm...yang gendut maksudnya. kikikik, hwahwhawhahwh.
Baru deh abis itu kita serbu Bentara Budaya..jarang-jarang ketika BBJ ada pemutaran film, aku
bisa berkunjung.

Film sutradara Joel dan Ethan Coen dengan judul The Man who wasn't There, sepertinya bagus. yaks
kita lihat aja seperti apa alurnya. Untuk sejenak lupakan kerjaan, lupakan deadline yang awal
minggu sudah menghampiri. Lupakan kantor..LUPAKAN..PLEASE, FORGET IT FOR A MOMENT. Hidup emang
harus seimbang. Please, tutup buku dulu ya untuk setumpuk TOR yang kadang jadi beban hidup.
halah. Mau ikyutt?

- Mau dong..

+ Yukkkksssssss

Wednesday, March 12, 2008

Rumah Kanker

Ada website bagus bagi kawans yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kanker.

klik aja:

http://www.rumahkanker.com


ps: terimkasih untuk pendiri rumah kanker. Beranda tempat berbaginya sangat berguna...

Sunday, March 09, 2008

Empati

Tepat sehari pasca meninggalnya mbak Ida, saya baru merasakan sedih dan merasa ditinggal. Herannya ketika pada menit pertama mendengar kabar mbak Ida meninggal, wajah, emosi, gerak-gerik saya sangat tenang. Satu persatu teman-teman SWA saya kabar baik lewat telepon maupun SMS.

Ketenangan saya berlanjut sampai ketika melihat mbak Ida seusai dimandikan dan ditutup kain kafan untuk dimasukkan ke peti jenazah, saya masih bisa sangat tegar memandanginya. Dalam hati saya mengucap, “selamat jalan Mbak Ida. Semoga tenang. Kami semua mendoakanmu yang terbaik”.

Tapi tepat sehari sesudahnya, emosi saya ngga karuan. Ada setangkup haru dan seddih yang amat sangat. kok rasanya ada yang hilang, ya...

Saya justru khawatir dengan diri sendiri yang kok rasanya begitu dingin dan mampu menarik diri keluar seperti hanya menonton sebuah sandiwara kehidupan. Tapi begitulah saya. Baru setelah sehari atau beberapa hari sesudah peristiwa menyedihkan terjadi, di saat itulah baru meraskan dampak kehilangan dan ditinggalkan.

Hal itu sama terjadi ketika saya memutuskan untuk mengikhlaskan pria yang saya sayangi untuk menikah dengan wanita yang saya anggap lebih baik dari saya. Dengan mudahnya saya berkata padanya: “ya sudah. Aku mengikhlaskanmu, mas”. Bahkan akhirnya ketika kami bertemu denganya untuk membahas perpisahan itu, saya malah ketawa-ketiwi ngga jelas. bercanda seperti laiknya teman sepermainan. Sungguh keceriaan kami-setidaknya saya- bukanlah sandiwara. blasss, saya betul-betul diberi kelapangan hati oleh Yang Maha Kuasa.

Tapi setelah itu boooo, dalam sujud, saya tak mampu memungkiri kesedihan yang dalam. Disitulah saya mengadu sepuasnya seperti curhatan saya pada sahabat terbaik. Air mata saya deras mengalir. Tenggorokan saya tak mampu menahan sesenggukan yang sengaja ditahan supaya Eyang Bandi tidak mendengar. Sekuat tenaga saya bertahan supaya air mata tidak lebih deras mengalir.

Kebetulan ketika saya bersimpuh diatas sajaddah di lantai, Eyang Bandi juga sedang shalat diatas kasur. Eyang sudah tidak kuat lagi melakukan gerakan sholat berdiri. Sambil menutupi wajah dan bersikap seolah sedang berdoa, air mata terus mengalir. He.he.he, untungnya sampai sekarang eyang ngga tahu, kalau ketika itu saya sedang gundah gulana. Tapi mungkin eyang heran, kok si cucu yang malas sholat ini, kok lama banget sholat Isya. 20 menit boooookk, hihihi..hi.

Dus, dilain peristiwa, kedinginan atau lebih tepatnya ketabahan hati bereaksi lagi. Misalnya ketika Bu Rambu, si Ibu beranak empat yang pernah kos di tenpat eyang Jogja akan pulang kampung ke Waingapu, NTT. Dengan riang gembiranya saya berpelukan. lagi..lagi diiringi ketawa ketiwi. Perasaan haru sama sekali ga nyempil di relung hati. Ketika itu saya hanya membatin: “oke selamat tinggal bu Rambu. We'll gona miss you too,” cuma itu.

Tapi beberapa hari setelah Bu Rambu pergi, whuuaaaaaaa. kangen mati sama dia. untungnya kali ini saya tidak mewek, alias cengeng. tapi ngga mungkin juga saya ngga sedih. Dibahunya saya pernah bersandar untuk sekadar melarung cerita pahit kehidupan. Tangan kuat ala wanita NTT itu pernah mengelus punggung saya dengan halus untuk berhenti membuka keran air mata dan melupakan riak kecil permainan hidup. Padanya saya pernah memercayakan cerita dari relung kalbu terdalam. “e.nona.sudae,”ungkapnya dengan logat kental NTT.

Apa mungkin loading saya lambat ya untuk masalah yang mengharu biru. Apa mungkin karena dibesarkan dalam lingkungan yang sebagian besar anggota keluarga adalah pria, lantas saya terbiasa untuk tegar. Tapi apa mungkin juga dibeberapa hari selanjutnya ketika akhirnya menangis, itu merupakan representasi dari sisi feminitas yang terkadang suka bersembunyi dan akan mencuat jika diperlukan. So..so.

Apapun itu, saya berharap kepekaan pada kondisi orang lain yang lebih menderita dari saya, tidak luntur. Kapanpun itu, saya berharap sisi feminitas saya tetap terjaga dan berguna untuk tidak terlalu egois memikirkan persoalan pribadi saja. Mudah-mudahan segala ketenangan, ketabahan, dan bahkan kecengengan itu dapat berguna untuk lebih memahami orang lain. Mungkin itu yang dinamakan empati.

Friday, March 07, 2008

An Evening With Miss Monroe

"It was then that she said, "I like this girl because she's the kind of woman that every man would like to be in there with. The kind of girl a truck driver would like to be in that bed with". ~Douglas Kirkland~

Masih ingat dengan pose seksi Marilyn Monroe, tubuh telanjangnya terbalut seprei putih. Marilyn mendekap bantal. Ekspresinya menggoda. Sampai sekarang banyak orang berpendapat bahwa dekapan tersebut seolah menyiratkan Marilyn sedang mendekap orang yang dicintainya.

Doug menjadi seterkenal objeknya. Foto tersebut digunakan sebagai cover story memperingati 25 tahun berdirinya Majalah selebritis, Look. Beberapa tahun Doug bekerja di Look, kemudian ia pindah ke majalah Life.

Foto An Evening with Marilyn Monroe itu heboh dipasaran artis Hollywood dan dunia. Gaungnya masih terdengar sampai saat ini. Terbukti Angelina Jolie mbela-belain untuk meluangkan waktu menjadi lahapan bidikan kampiun rol film seorang Douglas Kirkland. Jolie turut merelakan warna rambutnya diubah menjadi pirang mengikuti Marilyn. "Saya ingin seterkenal dia,"cetus Jolie yang nge-fans berat pose Marilyn beberapa dekade lalu itu.

Konsistensi karya Kirkland selama lebih dari empat dekade, membuatnya memiliki portofolio karya begitu fantastis. Marilyn Monroe, Elizabeth Taylor, Audrey Hepbrun sampai Jessica Alba adalah beberapa selebritis dari generasi berbeda yang pernah diabadikannya lewat lensanya. Arnold Zchwarzenegger, dan artis papan atas Hollywood lainnya menjadi langganan bidikan lensanya. Kurang lebih sebanyak 90 persen kliennya merupakan artis dan tokoh dunia papan atas.

Doug dilahirkan tahun 1934 di Toronto, Ontario, Amrik. Awal mula ia terlibat dibiang fotografi dimulai ketika berumur 24 tahun. Saat itu Majalah fashion dan gaya hidup, Look membuka perekrutan untuk fotografer muda.

Dekade demi dekade dijalani Douglas. Semakin banyak juga artis yang menjadi “santapan kameranya. Sebut saja Mick Jagger, Sting, Morgan Freeman, Andy Warhol, Oliver Stone, Leonardo DiCaprio, Brigitte Bardot, Sophia Loren atau bahkan Charlie Chaplin. Kesemua itu pernah difoto dan diarahkan gaya olehnya. Anggapan yang sampai saat ini melekat padanya adalah: “Kalau belom dipoto sama Douglas, rasanya ngga lengkap,” Seperti itu juga rumor yang beredar dikalangan para artis Hollwood.

Doug juga dikontrak oleh industri film sebagai fotografer khusus film untuk lebih dari 100 film termasuk pada tahun 2001 : A space Odyssey. Doug juga menjadi fotografer untuk film: Sound of Music, Sophie's choice, Out of Africa, The Pirate Movie, Butch Cassidy and the Sundance Kid, Romancing the Stone, Titanic, dan Moulin Rouge.Buku kumpulan fotografinya dalam film mampu terjual secara fantastis, 2 juta kopi.

Pada tahun 1995 Doug yang hobi kongkow dari satu negara ke negara lainnya pake pesawat pribadi, menerima Lifetime Achievement Award dari The American Motion Pictures Society of Operating Cameramen. Buku dengan foto syuting film Titanic, yang berjudul: Titanic, menjadi buku penuh foto dengan hasil penjualan terbaik menurut versi majalah New York Times.

Kini tambahan keseharian Douglas adalah mengajar diberbagai universitas dan institut film di Amerika, Hong Kong, Singapura, dan Taiwan. Tidak menutup kemungkinan Ia mengajar dinegara lainnya.

Sebagai seorang fotografer yang bertahan di industri ini selama lebih dari empat dekade, tentunya Douglas pernah mengalami pasang surut dimana banyak kolega dan rekannya meninggalkan dunia itu. Tapi Doug memilih setia pada profesinya dan memanfaatkan waktu mempelajari area baru dalam fotografi, yaitu penggunaan software pengolah gambar dan digital photography.

Douglas selalu mengingatkan untuk menjadi diri sendiri. “I work with celebrities but I'm not in awe of them. Individuals are less important to me than the possibilities of creativity. It's making images that excite me. Honestly, the names have come and gone, but my good fortune is that I've remained."ulasnya.

Monday, March 03, 2008

Gambir-Solo Balapan

Gambir 20.00-Solo Balapan 04.00

Whuaaaaa, akhirnya saya ke Jogja juga. Yessss. Oye. Tepat setelah saya menerima tiket kereta Gambir-Solo Balapan, saya tertegun. Saking girangnya dengan rencana ke Jogja pada long weekend tanggal 20-22 Maret nanti, saya hanya bisa tertegun. Dalam hening saya menyesapi gembira. Hati saya diselimuti keriuhan.

Diperjalanan pulang, pikiran saya langsung menjalar kemana-mana. Engg, nanti saya mau wisata kuliner kemana yaaa. Makan jaddah Kaliurang, sepertinya enakkk. Nyicip bakmi Jawa Mbah Mo yang moantap itu, ngga mungkin terlupa dan harus dijajal. Rujak Es krim di Pakualaman bikin tenggorokan nyessss. Bertahun lalu, saya sering mangkal disitu sembari menyeruput rujak es krim yang letak gerobaknya persis dibawah pohon rindang Pakualaman.

Attaaauu...nonton sampai mampus VCD bajakan yang disewa dari Jakal. Tapi yang paling seru adalah mborong buku di Social Agency. “Buku di Jogja jauh lebih murah ketimbang di Jakarta,”ungkap mbak Luwi ketika dulu pernah sharing tentang kehidupannya di Jakarta.

Yang jelas, hati saya deg-degan...mengharu-biru. Bahkan walau hanya menyusuri sepanjang jalan Mangkubumi sampai stasiun tugu saja, memori dulu yang pernah saya rangkai di kota itu kembali berjejalin. Saya hanya bisa duduk termenung. Dalam diam, seolah bisa mengingat, mengorganisir, dan mengintrodusir apa saja yang saya perlu lakukan supaya jadwal lebih efektif untuk kunjungan yang singkat.

Iya, saya kangen Jogja lebih dari kota manapun setelah Bandung. Jogja adalah klangenan. Disanalah saya belajar hidup. Tapi misi utama saya adalah menengok eyang yang untuk waktu lama tidak pernah saya kunjungi atau bahkan telepon sekadar menanyakan kabar. Maafkan saya....

Tapi janji deh, begitu sampai di Jogja, Riri akan mengantar eyang belanja ke pasar favorit eyang, Pasar Kranggan. Sudah tidak sabar rasanya mendengar lagi celotehan eyang dan kawan sepermainan ala Jogja. Dab, jal, gondes, cuk..atau bahkan asssuu, merupakan akhiran dari sebuah celotehan yang biasa dilontarkan oleh teman-teman saya di Jogja. Saya juga kangen dengan gerutu eyang. Pokmen khas Jogja banget deh. “Aku ki wis tuo. Mugo-mugo diparingi umur karo Gusti,”ungkapan jitu ala eyang Uti kalo kecapekan.

Yang jelas saya akan memberi surprise pada eyang, Cece dan Nope serta temans UKM TKD saya. Mudah-mudahan saya baru bisa mengucapkan: “Gue di Jogjaaaaaaa. Yes. This is Jogja,” ketika saya benar-benar sampai di stasiun Tugu.

Hayo, siapa yang mau ikut saya ke Jogja?