Thursday, September 04, 2008

Berlibur Bersama Keluarga Waipo








Singgih yang lucu. Singgih yang polos.
Terimakasih untuk keluarga Waipo atas akhir pekan kita.
Terimakasih untuk keceriaan yang ditularkan.
Aku tak mampu menggantinya dengan apapun jua.

Ceria kita saat itu, mampu menghapus luka.
Candaan kita kala itu, mampu meruap sepi.


Ragunan, Juli 2008

2008.09.09

Lima hari lagi. 09.09,2008 atau bila dalam penulisan mandarin : 2008.09.09

Bila tanggal dan bulan dijumlahkan, hasilnya tetap 9. Kadang saya berpikir, kenapa tidak tahun lalu keinginan itu muncul: 09.09.2007. Jika tanggal, bulan, tahun dijumlahkan, hasilnya tetap 9. Angka 9 bisa merujuk keberbagai filosofi angka dari berbagai budaya.

1. Asmaul husna atau nama baik Allah berjumlah 99.
2. Dalam kepercayaan budaya Tionghoa, angka 9 -selain angka 8-yang dilafalkan Jiu berarti angka tertinggi dan diharapkan membawa keberuntungan. angka 9 yang dilafalkan “ciu”, dengan padanan makna dengan kata yang memiliki arti “abadi”, “langgeng”, “lama” ataupun “lestari”. Sehingga dengan mengucapkan angka 9, mengandung doa dan harapan agar sesuatu yang diinginkan itu bisa berlangsung selama-lamanya. Misalnya, harapan berbahagia sampai selama-lamanya.

3. Tanpa disadari, tanggal 9 jatuh dihari selasa dimana itu adalah hari kelahiran saya.

ah, apapun itu, semuanya hanya kebetulan saja. Insya Allah, lahir dan batin saya siap menjalani semuanya. Seminggu terakhir saya hanya bisa berdoa dengan maksud hati dan pikiran lebih mantap. Semoga dengan ini saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

amin.

Guru Shaolin Kami, Yang Laoshi



Awalnya kami bertiga: jie Meilind, Rikka Mei-mei dan saya hanya bisa terbengong ria. Hari itu kami kedatangan guru baru dari Zongguo (baca: cungkuo=Cina). Yang Laoshi (baca : laoshe= guru) merupakan panggilan hormat kami padanya. Dialah yang menggantikan Liu Laoshi yang pulang ke provinsi Shecuan, Cina dua bulan lalu.

Si guru ganteng itu betul-betul membuat kami bengong. Tutur kata-nya cepat sekali. Logat Beijingnya yang kental justru tidak membuat kami berhasrat ingin berbicara seperti dia. Hal ini berbeda dengan ketika kita berhadapan dengan penutur asli bahasa Inggris. Yang Laoshi berbicara justru terkesan seperti orang kumur-kumur. "Opo tho jarene. Aku ki ra mudeng,"ucap jie Meilind kesal. Ibu berumur 68 tahun harus memicingkan matanya dan mencondongkan badannya agar ucapan Yang Laoshi tidak terdistorsi terlalu lebar. Jie Meilind yang juga keturunan Tionghoa-Wonosobo itu, sedikit menaikkan kacamata plusnya pada batang hidungnya

Kemudian Jie Meilind bertanya: "Ni shi na ren? (Asal kamu dari mana)" Namun, entah bagaimana kok pemuda berumur 20 tahun itu malah kebalik ga ngerti. Mungkin karena nada pengucapan kami tidak pas. Dalam bahasa Mandarin, meski kata yang diucapkan sama, tapi salah nada pengucapan, bisa berarti berbeda. Akhirnya kami menggunakan bahasa Inggris. "Where do you come from? What city?" Tiba-tiba jawabannya ajaib. "CD? ooo, Guangpan (baca: kuangphan)" Jawaban itu lebih ga nyambung lagi. Karena guangpan sendiri berarti adalah Compact Disc alias CD. Yang laoshi mengira kami bertanya bahasa mandarin dari kepingan musik.

Hari pertama selama 1.5 jam pelajaran tersebut penuh kesimpangsiuran. Kami bertanya B..eee.Yang Laoshi menjawab D. Begitulah. Menggelikan sekali. Tapi serrruuu banget. Terutama kami bertiga sering "menggodanya". eitts, jangan ngeres dulu pikirannya. Maksudnya, kami sering membicarakannya dengan bahasa Indonesia. "eee, Rikk, kayyak Shaolin muda, ya dia,"ucap saya pada Rikka mei-mei. Tapi jujur. Dia sosok yang menarik. Saya mencoba mencari persamaan antara bhiksu Shaolin dengannya. Tulisan hanzi-nya (baca: hantse= tulisan mandarin) itu loohhh, wush-wush sudah seperti penulis kaligrafi profesional, cepat dan rapi. Goresannya meliuk tajam dan sangat menggambarkan pemuda tionghoa yang artistik.

Pun begitu, pemuda yang dikirim menjadi guru lewat Kedutaan Besar Cina di Indonesia tak bisa menghilangkan kekanak-kanakkannya. Kalau ia merasa apa yang diucapkannya konyol, maka ia akan terlihat grogi. he..he..he, dia salah masuk kelas kali yaaa. Yaiiiyalahhh, masuk ke sarang tiga pendekar wanita geto loh. Kalau sedang tertawa atau bahkan hanya tersenyum saja, matanya hanya berbentuk segaris.

Untungnya kami bukan murid jahil. Sampai sekarang masih agak sulit untuk mbercandain dia. lha wong bahasa inggrisnya kurang lancar. Sedangkan murid-muridnya masih bebal mengucapkan mandarin.

Tapi saya masih mengingatnya ketika akan memasuki kelas 1 pada hari terakhir kami. "Ni hao! Ni lai wan le (Halo, kamu telat),"ucapnya diluar gedung tempat kami belajar. Saya yang awalnya mau masuk dan ingin segera berlari, tiba-tiba terhenti dan memaksakan menengok keluar. "Ni hao! Duibuqi, wo lai wan le (tuipuci, wo lay wan le= maaf, saya terlambat),"ucap saya. Sempat terdengar sayup : "Meiguanxi (meikuansi=tak mengapa),". Akhirnya saya harus segera pamit untuk naik ke ruangan atas. Chen Laoshi sudah menunggu saya.
Hiks..hiks, semoga kelas berikutnya bertemu lagi dengan Yang Laoshi.