Thursday, January 20, 2011

Feel looser

Kalo udah ngerasa diri sendiri 'feel looser', denger lagu Waving Flag-nya K'naan, jadi semangat lagi menghadapi hidup. *Give me freedom, give me fire, give me reason, take me higher, See the champions, take the field now, you define us, make us feel proud*

Wednesday, January 19, 2011

Tukang Pisang Dadakan

“Selamat pagi, Bu. Kami dari Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA), sedang menggalang dana untuk penyuluhan gigi dan santunan buku di Kampung Monyet, Cipinang. untuk itu kami menjual pisang. Siapa tahu Ibu berminat,"ucap saya pada calon kostumer pertama. Ibu yang berusia 70 tahun-an itu memperhatikan saya mulai ujung kepala sampai ujung kaki. "Emangnya kamu jual pisang apa sih. Oh ada ya Kampung Monyet itu?" Dengan semangat 45, saya menjelaskan kembali visi RISKA mengadakan kegiatan yang akan dilaksanakan akhir Februari nanti.

Sejurus kemudian dia bertanya," trus kenapa kamu mesti jauh- jauh dari Cipinang ke sini?" Kembali saya menekankan kalau kami ingin memulai dari sekitar Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK).

Ibu itu masih keheranan dengan kedatangan saya dan Tania di minggu pagi yang cerah itu. Ketika Ia memutuskan untuk melihat persediaan pisang kami, langsung dengan isyarat tangan saya panggil Tania yang memarkirkan motor diseberang jalan. Kami memang mengatur strategi: saya mencari target pembeli door to door. Sedangkan Tania selalu stand by dimotor yang memuat kardus pisang diboncengan.

Tania perlu berhati-hati memutar stang motor untuk dikemudikan ke seberang jalan. Setelah teman sesama RISKA-der tersebut sampai didepan pintu gerbang, ia tidak turun. Saya langsung menghampirinya dan menurunkan beberapa ikat pisang Sunrise dan ambon.

Alammakk, beberapa sudah ada yang bonyot karena tertumpuk dengan pisang lainnya. Hanya pisang ambon saja yang tetap kuning segar dan masih kokoh. Saya menabahkan diri untuk tetap stay cool. Dalam hati saya bilang, Insya Allah kalau niat kita baik, kostumer akan menghargai kita.

“Nah, ini Bu, pisangnya. Semuanya kami pukul rata Rp. 50 ribu/ikat,"dengan wajah sumringah namun kembali mencoba menabahkan diri pada respon negatif yang akan timbul. sontak Ibu itu keheranan. Walaupun Ia tinggal di jalan Madiun Menteng, dimana sepanjang jalan tersebut berjajar rumah gedongan dengan halaman luas, tetap ia terkaget-kaget. Sudah bisa ditebak, pertanyaan selanjutnya, "Kok mahal banget?" Untung hitungan matematis sudah saya persiapkan.

Saya katakan bahwa berat rata-rata per-ikatnya hampir 1,5 kg. Di Carrefour, pisang sunrise dipatok sekitar Rp. 15 ribu/kg. Itupun isinya 4-6 pisang. Sedangkan pisang yang saya bawa berisi 8-9 pisang. Justru harga lebih tinggi, itu bagian dari pencarian dana. Intinya pada sang Ibu saya bilang kalau beliau gak akan rugi-rugi amat beli pisang seharga Rp. 50 ribu.

Rambut putihnya sesekali terkibaskan oleh angin pagi yang sejuk. Wajah bijak-nya fokus meneliti pisang yang saya gelar di halaman depan yang beralaskan semen. Ternyata si Ibu tidak familiar dengan sunrise. "Boleh kok kalau Ibu mau coba," awalnya Ia menolak. Katanya Ia tidak sampai hati memakan dagangan untuk pencarian dana.

Namun karena saya langsung menyodorkan satu pisang untuknya, ia mau menerimanya. Pisang dipotong separuh. Separuh sisanya Ia sodorkan pada beberapa pembantunya yang ikut mengelilingi saya, "nyoh jare koe durung ngerti rasane pisang Sunrise," pembantumya malah segan dan menolak halus. Tak sampai 2 menit, ada keputusan besar buat kami. "Ya sudah, saya ambil satu dulu saja ya mbak,"

Langsung Ibu masuk kedalam rumah kemudian keluar lagi dengan menyerahkan Rp. 50 ribu. Kwitansi saya keluarkan. Disana selain tertulis nama dan jumlah nominal transaksi, juga tertulis nama saya, no HP, email pribadi, website serta email RISKA.

Ketika kami berpamitan pulang, ia bertanya, gimana caranya kami membawa 10 sisir pisang itu door to door dengan motor. Wajar saja banyak yang bertanya. Melihat motor Tania jenis Yamaha Mio, ditunjang tubuh kami berdua yang kecil tapi turut dibebani kardus berukuran sedang, kok ngelihatnya riweuh banget, hahahahaha...

Kemudian kami jelaskan kalau pisang-pisang itu ditumpuk didalam beberapa tas jinjing. Sedangkan kardus itu saya dudukkan dipangkuan. Karena tertumpuk-tumpuk, wajar saja mengapa hampir semua pisang bonyot.

Si Ibu paham. Ia melepas kami berdua dengan pesan "sukses ya mbak"

Amin


Dari kostumer pertama kami belajar banyak hal:

1. Kita nggak boleh under-estimate orang alias memandang sebelah mata. Belum tentu kostumer yang pakaiannya sederhana, gak bisa membeli produk kita. Begitu juga sebaliknya. Belum tentu orang dengan pendapatan berlebih mau merelakan uangnya untuk mendapatkan produk yang kita tawarkan.

Berdasarkan pengalaman berjualan dalam beberapa tahun ini, kerelaan kostumer menyisihkan uangnya untuk kita tidak selalu karena kebutuhan. Seringkali karena hubungan baik dan kejelasan tujuan kita berjualan, mereka simpatik.

2. Kembali lagi semuanya bersumber pada niat. Kalau niat kita baik, jujur, adil dan terbuka, orang yang baru kenal-pun tanpa pikir panjang mempercayakan uangnya pada kita.

Saya banyak belajar dari menjual parfum. "Alah dasar lu bilangnya tulus bantu orang tapi lu dapet bagian juga kannn,"ucap teman saya mengomentari atas keuntungan yang saya dapatkan dari berjualan parfum.

Saya bilang, memang dari awal saya ga kepikiran untuk mengambil margin penjualan. Saya hanya berpikir kalau saya bisa dijadikan mediator antara penjual dan pembeli tanpa keluar biaya operasional, kenapa harus ambil margin?


Tapi akhirnya partner bisnis saya justru yang sadar diri. Katanya, harga penawaran pada pembeli memang sudah terrmasuk biaya reseller semacam saya. Kalaupun harga jual diturunkan dengan mengambil upah saya, itu akan merusak harga pasar. Memang benar, harga pasar rusak setelah saya memberi diskon besar-besaran.

3. Jangan pernah malu.malu untuk susah, malu untuk angkat-angkat serta malu menawarkan ke setiap orang.

Inilah bedanya perlakuan terhadap wartawan dengan penjual.

Sebagai wartawan majalah bisnis, saya terbiasa menerima previledge, akses yang terbuka dan fasilitas yang mungkin tidak saya dapatkan jika saya tidak berprofesi seperti sekarang.

Beda banget dengan ketika saya dagang. Hmm...kadang dilirik aje kagak. Paling banter mereka menolak dengan halus. Sama seperti kejadian dikawasan Menteng hari minggu lalu. "Maaf mbak, baru saja pembantunya beli pisang," atau "wah kalau hari libur kayak gini, biasanya yang punya rumah baru bangun jam 10, mbak"

Hhhh....hhhh...kemarin sih gak terasa perih hati dibegitukan, soalnya itukan bukan mata pencaharian saya. Jadi masih kerasa enteng menghampiri dari satu rumah kerumah lainnya.

Tappii, sepulang dari jadi sales pisang dadakan, akhirnya saya mengerti gimana susahnya cari uang. Pedddiiih banget pastinya jika itu adalah mata pencaharian utama dan kita ditolak.

4. Kapanpun, dimanapun, kita harus selalu meyakini kalau Allah itu dekat. Kalaupun kita sendiri menjajakan dagangan, ada Allah yang selalu menemani. Laku atau tidaknya dagangan kita, selain karena kualitas produk dan strategi pemasaran, itu semua karena ada Allah yang mengatur. Kita akan bertemu calon kostumer semacam apa, juga karena campur tangan Allah. Basmallah dan hamdallah selalu tercurah padanya.

5. Kita sering pakai kata "tapi". Tapi gue kan gak punya modal, tapi gimana dong nanti kalau ga ada yang suka, tapi minggu pagi-kan orang lebih suka beristirahat, tapi mana mungkin ada yang beli harga pisang yang mahal gitu...dan sederet "TAPIi"

Thanks to Edoy-bapaknya Rendra- yang menyemangati saya untuk mencoret TEBAL-TEBAL kata itu.

Gak ada yang gak mungkin. Asal ada kemauan dan kerja keras, semuanya menjadi mungkin. Bahasa keren-nya mah: Let's do the best, Allah will do the rest"