Tuesday, October 04, 2011

Drama Tiga Bakak-Pernikahan Mbak Nastiti Handayani

Babak I


“Jadi...kamu udah tahu, siapa yang bakal nikah?” tanya seorang teman sembari berbisik. Beberapa kepala saling mendekat. Mereka menurunkan volume suara. Ini adalah misi penting. Kami harus tahu siapa pelaku utama dari misi ini. Mereka, termasuk saya juga sih, hmm, maksudnya kami :D memasang telinga baik-baik atas siapa, bagaimana, dan dimana misi itu akan terjadi. Kami sudah tahu kalau kami, tim 9, salah satu tim yang dipilih untuk menunaikan misi itu. Misi pernikahan Islami. Kurang dari tiga minggu sebelum pernikahan, kami mendapat kabar bertugas menjadi panitia tanggal 2 Oktober 2011. Senang sekali mendapat kabar itu. Karena rata-rata dari kami, inilah yang pertama kalinya menghadiri pernikahan yang tata cara-nya sesuai dengan syariah Islam: pengantin perempuan tidak langsung disandingkan dengan pengantin pria ketika ijab qabul. Selain itu terdapat pemisahan antara tamu perempuan dan pria.

“Ternyata, nih ya .. aku dapet bocoran. Akhwat-nya anak sini(RISKA). Tapi ikhwannya bukan..,”ucap salah seorang dari kami. Saat itu kami sedang berada diruang ibadah MASK. Setelah mendengar kabar itu, tiba-tiba ada yang berucap “alhamdulillah yaa...” Saya tergelak mendengar reaksi-nya itu. Ia bersyukur karena calon pengantin pria-nya bukan anggota atau lebih tepatnya pengurus RISKA. Kemudian teman lainnya, mengucapkan hal yang sama. “Alhamdullilah. Iya aku juga. Waktu nunggu kabar ini, aku deg-degan,” loh.loh.loh...hmmm semburat merah muda sudah menjalar di RISKA rupanya. ternyata. ..oh ternyata. ”Trus kalo anak RISKA..bakal patah hati dong,”ucap saya sekena-nya sambil melipat mukena. Saat itu kami baru saja selesai sholat shubuh setelah semalaman mengikuti Moslem Youth Night (MYN) ke-6. Si embak yang ditanya, hanya mesam-mesem. “Ah Riri...” Hanya itu jawab-nya. Saya tidak menanyakan lebih lanjut padanya mengenai pada siapa hatinya tertambat dan pada siapa cerita asmara-nya itu Ia bingkai. Justru saya khawatir tergiur tidak dapat menjaga amanah.

Nama pengantin perempuan baru kami dapatkan pada siang hari-nya. Oalah, mbak Nastiti Handayani alias mbak Yani, tooohh. Whuaah, selamattt. Kami ikut senang dan terlalu senang malah. Para petugas jaga alias pager betis, mendapat bahan kain untuk dijahitkan. Wajah teman-teman dan termasuk saya, terpancar bahagia. Kain warna marun itu kami remas dan peluk. Mau nangkep aura. Biar ketularan cepet nyusul, katanya. hihihi. Ada-ada aja. Bahkan si Budhe Anti lebih gegap gempita diantara kami. “Gue mau matching-in baju ini. Pokoknya harus perfect,”ucapnya sembari melihat-lihat kain yang baru saja diterima-nya. Saya senyam-senyum sendiri memandangnya. Tapi sekaligus juga terharu. Sebegitu menghargainya si Budhe atas pemberian kain tersebut. Bahkan Ia sampai membeli majalah fesyen khusus busana muslim. “Ada banyak contoh disini, Riri. Gue-kan belum pernah jahit gamis,”dengan mimik serius Budhe memperhatikan lembaran majalah.

Hari demi hari kami lalui dengan saling berkoordinasi. “Nanti jangan lupa ambil jilbab-mu ya, Ri. Udah kusimpan di loker SDTNI. Warna Merah-putih,”tulis Buntil dalam pesan elektronik singkatnya. Buntil-lah yang menjadi koordinator untuk tim 9. Dia tuh yang paling telaten mengingatkan kami atas segala hal detil, termasuk berinisiatif ke Tanah Abang pada minggu siang. “Ya ampun, Bun, apa ga capek abis MYN. Serius mau lanjut?” ucap saya meyakinkannya saat Ia ingin membelikan kami semua, jilbab merah-putih. Eh, tapi tenang... kan ada Chici yang dengan sigap membopong si Buntil kalo pengsan, hihihi. Disiang yang terik, mereka berdua membelah keramaian Tanah Abang. Entah ditemani siapa lagi, namun saya yakin hanya semangat dan keikhlasan-lah yang tetap membuat langkah mereka terayun.

Sejak kabar pernikahan itu terdengar, saya mulai bertanya-tanya, mengapa kami yang menjadi petugas, juga belum mendapat kabar tentang siapa nama pengantin dan dimana lokasinya. “Prosesnya ga sampai satu bulan, Ri. Apalagi karena ini ga pacaran, sangat menjaga. jadi khawatir ada perubahan ditengah jalan,”ucap Mbak Yani, mentor kami, orang pertama yang memberi kabar pada saya. Kabarnya, bahkan sampai sebelum ijab qabul diikrarkan, masing-masing calon pengantin masih melakukan sholat istikharah. “Daripada retak ditengah jalan, lebih baik menanggung malu walaupun undangan sudah disebar,”jelas mbak Yani dilain waktu saat menjelaskan proses pernikahannya sendiri.

Berinteraksi dengan para senior yang turut mempersiapkan walimatul Ursy ini, membuat saya terlibat pada pembicaraan: konsep pernikahan Islami. “Pasangan itu cerminan diri kita lho. Kita mau pasangan seperti apa, ya kita sendiri ya membentuk,”sahut mbak Salma saat kami berkunjung kerumahnya. Dalam hati saya bilang: “hm, nice!”

Sebetulnya inilah proses pernikahan sesuai syariah Islam kedua yang saya ikuti. Tahun lalu, saya menghadiri pernikahan teman kantor. Begitu kagetnya saya ketika mendengar bahwa kedua mempelai berkenalan melalui sebuah forum kajian Al-Qur'an di internet. Mereka sama-sama alumni Universitas Padjadjaran (Unpad). Namun berbeda jurusan. Yang lebih mengagetkan lagi, teman saya itu begitu muda. Baru lulus kuliah. Baru magang sebagai pegawai di kantor tempat saya bekerja. “Kok, si Manto bisa yakin, sih,” tanya saya pada teman-teman dalam perjalanan kami menuju tempat resepsi di Bandung. Lebih mengagetkan lagi waktu teman lainnya bilang, “Tahu ga, nanti si Manto ngasih hadiah surat Ar-Rahman loh sebelum ijab Qabul,” Kemudian saya menimpali: “baca maksudnya? Teman lainnya menyahut: “Bukan. Bukan dibaca, tapi dihapal. Gak pake contekan,” Saya mencoba memeriksa, berapa jumlah ayat Ar-Rahman. Busettt. Banyak ajah. En si Manto bisa hapal segitu banyaknya? Saya baru tahu tentang pernikahan semacam itu. Saya baru kenal surat Ar-Rahman, saya baru tahu ini dan itu. Ada banyak hal yang saya tidak tahu.-maklum belum masuk RISKA :p-

Tapi begitu memasuki ruang resepsi yang terletak dibawah Masjid, auranya terasa beda. Selain arah masuk tamu pria dan wanita dipisah oleh ilalang buatan, lagu Opick diperdengarkan. Jeb. Rasanya menancap kesanubari. Aura-nya beda dari resepsi biasa. Syahdu. Khusuk. Saya diam. Teman-teman saya yang semula pecicilan, sama reaksinya seperti saya.

Dan reaksi yang sama saya dapatkan pada pernikahan mbak Yani.

(Lanjut...)

No comments: