Friday, February 22, 2008

Joki 3 in 1

Jenis joki ada berbagai macam. Joki yang biasa kita kenal adalah joki yang menawarkan tiket diluar jalur resmi pembelian tiket transportasi publik.
Ada yang lain nih. Joki jalanan. Ya joki semacam itu memang bisa kita jumpai ditengah kesemrawutan jalanan protokol Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto (Gatsu) Jakarta.

Joki mulai terdengar gaungnya ketika Gubernur DKI yang lawas menetapkan jalur three in one di jalan protokol sejak dua tahun lalu. Kebijakan pembatasan jumlah penumpang minimal tiga orang untuk satu mobil ini terkait dengan upaya pengurangan laju kendaraan. Bikin macet, bikin jalan tersendat, bikin orang naik darah, bikin kesal, terlebih semakin memacu pengendara naik tensi darahnya.

Siapakah makhluk Joki tersebut? Kalau teman semua sedang melewati tiga kawasan diatas, sejurus mata memandang ada orang-orang yang berdiri dipinggiran jalan sambil tangannya mencoba menyetop mobil. Itulah joki yang menawarkan dirinya untuk memenuhi kuota jumlah penumpang. Joki selalu meramaikan dinamika lalu lintas sejak pukul 16.30 sampai 19.00. Karena mulai jam tersebut konsep three in one diberlakukan.

Saya akhirnya merasakan semobil dengan joki setelah hampir selama tiga tahun menetap di Jakarta tidak pernah bersinggungan dengannya. Akhir-akhir ini saya dan mas Ino sering selesai liputan pada sore hari. Narasumber biasanya lebih nyaman jika ditemui setelah jam 15.00. Bisa dibayangkan untuk reportase yang biasanya hanya memakan waktu paling lama dua jam, kami rentan terjebak arus 3 in 1.

"Kita pilih Joki yang mana ya, Rii?"
ucap Mas Ino sembari pandangannya menyelidik kearah para joki. Satu persatu kami lewati. Awalnya saya agak kaget juga menghadapi kemungkinan menaikkan joki. Iya kalau baik, lha kalau ternyata dia ngapa-ngapain kita, gimana? "Ngapa-ngapain kita gimana maksud, lo? Justru harusnya mereka takut sama kita. Khawatir mereka kita celakain, trus kita bawa kemana gitu....,"jelas Mas Ino cuek.

Lalu saya menunjuk pada seorang ibu yang berdiri ditikungan Bursa Efek Indonesia menuju arah Gatsu. Kemudian naiklah si Ibu tersebut. Ok, fine, dia baik dan tidak neko-neko soal ongkos serta tak banyak bertanya identitas.

Disore berikutnya adalah pengalaman berbincang kecil yang mengharukan. Saya sampai agak bergidik dan ngeri ketika Mas Ino dengan santainya meminta gadis remaja itu masuk mobil lewat pintu belakang. "Waduh jangan yang itu dong, mas...kayaknya meragukan, deh,"ucap saya keberatan.

Tapi sudahlah, mas Ino akhirnya jadi mengangkutnya. Ternyata seru juga mendengar pengalamannya. "Saya sudah lima kali, mas, keluar masuk LP,"cetusnya dengan nada suara riang gembira. HAH???? Lima kali??? Sontak saya dan mas Ino saling berpandangan dan kemudian langsung menatap kedepan. Kami berdua keheranan. Lebih tepatnya takjub. Santai banget, bro!! Rekor!!!

Si gadis yang tak sempat kami tanyakan namanya itu lantas berceloteh. -Untuk seterusnya saya menyebutnya Gadis-. Tuturannya sangat mencerminkan gaya anak muda yang sedang mencari jati diri. Umurnya sepantaran dengan adik saya, 21 tahun.

"Iya itu, mbak, baru sekali jadi joki, ehh, besoknya langsung ditangkep, masuk LP deh,"ujarnya terkekeh. Sebelumnya, Gadis bekerja di sebuah pabrik konveksi di daerah Tangerang, Banten. Namun sayangnya dia di PHK dengan alasan restrukturisasi perusahaan. Saat ini dia sudah lima bulan menjadi joki.

Atas ajakan temannya, Gadis tergiur dengan iming-iming "penghasilan" yang lumayan. Sebetulnya disekitar tempatnya "mangkal", banyak Sat Pol PP yang patroli. Tak heran jika LP di daerah Jakarta Barat tersebut banyak menjaring joki-joki. Namun, bayangan sejumlah uang yang terkantongi mampu menepis rasa sungkannya berdiri disamping trotoar jalan. Padahal dia sendiri saat itu tidak mengenal area Jakarta. Sebelumnya dia tinggal di Medan, Sumatera Utara.

Gadis sebetulnya patut resah akan konsekuensi tertangkap. Jika Ia ditangkap oleh pihak Polisi Daerah, maka Gadis akan dikurung selama jam 3 in 1 berlaku. Selepas itu Gadis boleh pulang. Hukumannya hanya membersihkan kamar mandi plus bonus mengepel ruang kepolisian. Namun bila tertangkap oleh Sat Pol PP, Gadis akan dikurung di LP di Jakarta Barat. "Ada tuh petugas yang nyoba godain saya, mbak.. saya boleh keluar kalau bisa "dipake" sama mereka. Iiih saya ngga mau deh,"sahutnya genit. Saya dan mas Ino sesekali cuma mampu berkomentar singkat: "ooo..gitu ya," Akhirnya Gadis harus mengeram di jotel prodeo selama dua bulan. Disanalah Ia belajar memakan makanan yang sangat tidak layak, sayur kangkung berwarna kekuningan. Sayur itu mampu berwarna demikian karena pengaruh daunnya yang warnanya benar-benar sudah kuning dan layu.

Seseram apapun konsekuensi yang akan dihadapinya, Gadis bersikukuh melanjutkan profesi itu. Cerita kawan sesama penghuni sel yang mampu menyekolahkan anaknya menjadi insinyur dan dokter dari pekerjaan mengemis, membuatnya semangat. Dia ingin profesi joki juga bisa menghidupi keluarganya seperti apa yang yang telah dicapai temannya. "Gue pernah dengar juga tuh ada pengemis yang bisa membeli Baleno terutama abis ngemis waktu Idul Fitri,"mas Ino ikut menimpali. Perbincangan ringan kami menjadi hangat, seru. Satu lagi tambahan ilmu kehidupan.

Akhirnya Gadis kami turunkan di dekat Bank Indonesia, sekitar 1 Km ke arah kantor kami. Lembaran ribuan kami berpindah ketangannya. Lumayan untuk ongkos pulang ke "markas awal".

Ya sudahlah.... Coba siapa yang patut disalahkan? Hal ini sama dengan pertanyaan: Duluan mana, ayam atau telur? Program 3 in 1 diberlakukan untuk menggencet laju pengendara. Tapi bisa dilihat sendiri, program tersebut hanya berfungsi tambal sulam. Problem lalu-lintas tetap berlanjut.

Permintaan untuk mengunakan kendaraan umum menjadi tidak rasional ketika melihat kondisi fasilitas tersebut tidak mumpuni. Jadi, siapa yang harus bertanggungjawab? Apa jawabannya, ayam atau telur yang lebih dulu lahir?

No comments: