Sunday, March 09, 2008

Empati

Tepat sehari pasca meninggalnya mbak Ida, saya baru merasakan sedih dan merasa ditinggal. Herannya ketika pada menit pertama mendengar kabar mbak Ida meninggal, wajah, emosi, gerak-gerik saya sangat tenang. Satu persatu teman-teman SWA saya kabar baik lewat telepon maupun SMS.

Ketenangan saya berlanjut sampai ketika melihat mbak Ida seusai dimandikan dan ditutup kain kafan untuk dimasukkan ke peti jenazah, saya masih bisa sangat tegar memandanginya. Dalam hati saya mengucap, “selamat jalan Mbak Ida. Semoga tenang. Kami semua mendoakanmu yang terbaik”.

Tapi tepat sehari sesudahnya, emosi saya ngga karuan. Ada setangkup haru dan seddih yang amat sangat. kok rasanya ada yang hilang, ya...

Saya justru khawatir dengan diri sendiri yang kok rasanya begitu dingin dan mampu menarik diri keluar seperti hanya menonton sebuah sandiwara kehidupan. Tapi begitulah saya. Baru setelah sehari atau beberapa hari sesudah peristiwa menyedihkan terjadi, di saat itulah baru meraskan dampak kehilangan dan ditinggalkan.

Hal itu sama terjadi ketika saya memutuskan untuk mengikhlaskan pria yang saya sayangi untuk menikah dengan wanita yang saya anggap lebih baik dari saya. Dengan mudahnya saya berkata padanya: “ya sudah. Aku mengikhlaskanmu, mas”. Bahkan akhirnya ketika kami bertemu denganya untuk membahas perpisahan itu, saya malah ketawa-ketiwi ngga jelas. bercanda seperti laiknya teman sepermainan. Sungguh keceriaan kami-setidaknya saya- bukanlah sandiwara. blasss, saya betul-betul diberi kelapangan hati oleh Yang Maha Kuasa.

Tapi setelah itu boooo, dalam sujud, saya tak mampu memungkiri kesedihan yang dalam. Disitulah saya mengadu sepuasnya seperti curhatan saya pada sahabat terbaik. Air mata saya deras mengalir. Tenggorokan saya tak mampu menahan sesenggukan yang sengaja ditahan supaya Eyang Bandi tidak mendengar. Sekuat tenaga saya bertahan supaya air mata tidak lebih deras mengalir.

Kebetulan ketika saya bersimpuh diatas sajaddah di lantai, Eyang Bandi juga sedang shalat diatas kasur. Eyang sudah tidak kuat lagi melakukan gerakan sholat berdiri. Sambil menutupi wajah dan bersikap seolah sedang berdoa, air mata terus mengalir. He.he.he, untungnya sampai sekarang eyang ngga tahu, kalau ketika itu saya sedang gundah gulana. Tapi mungkin eyang heran, kok si cucu yang malas sholat ini, kok lama banget sholat Isya. 20 menit boooookk, hihihi..hi.

Dus, dilain peristiwa, kedinginan atau lebih tepatnya ketabahan hati bereaksi lagi. Misalnya ketika Bu Rambu, si Ibu beranak empat yang pernah kos di tenpat eyang Jogja akan pulang kampung ke Waingapu, NTT. Dengan riang gembiranya saya berpelukan. lagi..lagi diiringi ketawa ketiwi. Perasaan haru sama sekali ga nyempil di relung hati. Ketika itu saya hanya membatin: “oke selamat tinggal bu Rambu. We'll gona miss you too,” cuma itu.

Tapi beberapa hari setelah Bu Rambu pergi, whuuaaaaaaa. kangen mati sama dia. untungnya kali ini saya tidak mewek, alias cengeng. tapi ngga mungkin juga saya ngga sedih. Dibahunya saya pernah bersandar untuk sekadar melarung cerita pahit kehidupan. Tangan kuat ala wanita NTT itu pernah mengelus punggung saya dengan halus untuk berhenti membuka keran air mata dan melupakan riak kecil permainan hidup. Padanya saya pernah memercayakan cerita dari relung kalbu terdalam. “e.nona.sudae,”ungkapnya dengan logat kental NTT.

Apa mungkin loading saya lambat ya untuk masalah yang mengharu biru. Apa mungkin karena dibesarkan dalam lingkungan yang sebagian besar anggota keluarga adalah pria, lantas saya terbiasa untuk tegar. Tapi apa mungkin juga dibeberapa hari selanjutnya ketika akhirnya menangis, itu merupakan representasi dari sisi feminitas yang terkadang suka bersembunyi dan akan mencuat jika diperlukan. So..so.

Apapun itu, saya berharap kepekaan pada kondisi orang lain yang lebih menderita dari saya, tidak luntur. Kapanpun itu, saya berharap sisi feminitas saya tetap terjaga dan berguna untuk tidak terlalu egois memikirkan persoalan pribadi saja. Mudah-mudahan segala ketenangan, ketabahan, dan bahkan kecengengan itu dapat berguna untuk lebih memahami orang lain. Mungkin itu yang dinamakan empati.

2 comments:

Bambang Aroengbinang said...

kejujuran pada apa yg dirasakan, dan nyaman dengannya kadang merupakan barang langka; menangis atau tidak adalah getar hati, bukan lalu berbuat sebaliknya karena rasa tidak enak pada orang lain, takut dikatakan cengeng lalu tidak menangis, atau sebaliknya mencoba menangis daripada dibilang tidak punya perasaan...

artja said...

bukan hal yang mudah untuk bisa ber-empati terhadap orang lain. hanya orang-orang dengan hati lapang dan berjiwa besar serta ikhlas terhadap sesamanya saja yang mampu melakukannya. jadi, selamat karena telah melewati tahapan sulit tersebut.