Friday, May 23, 2008

Vertigong-Harmoni Benturan Dua Kutub


Foto: koleksi Kua Etnika

Apa jadinya kalau orang Jawa tulen main Jazz? Sesungguhnya bukan itu maksud pertanyaanya. Kalau boleh saya ralat pertanyaannya akan menjadi: Apa jadinya kalau ada dua aliran musik dari dua kutub Timur dan Barat dipersatukan sebagai sebuah kolaborasi? Hasilnya adalah sebuah benturan yang menciptakan harmoni.

Itulah kesan saya saat menonton konser Kua Etnika dalam tema: Vertigong-Orang Jawa Main Jazz di Taman Ismail Marzuki, 8 Mei lalu. Ketika pertama kali mengetahui ada kabar Kua Etnika-selanjutnya disebut Kua Et- manggung di TIM, whuah, suennneng banget. Akhirnya saya bisa menonton lagi Kua Et setelah selama 3 tahun absen. Di Jogja-lah saya menonton Kua Etnika secara perdana. Saat itu kebetulan sedang liputan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tahun 2005.

Rasanya hati ini bergemuruh, gegap gempita menyambut Kua Et. Lampu di balkon padam. Seluruh perhatian penonton tertuju pada sekelompok orang yang sedang memainkan gamelan. Jangan heran melihat flute, biola, keyboard dan drum sebagai partner penyeimbang lantunan kendang Jawa, kendang Sunda, saron, reong, dan gong. Ya begitulah kalau orang Jawa main Jazz. Alunan gending Jawa masih menjadi benang merah atas komposisi aransemen.

Saya rasa selain menampilkan kualitas bermusik dari sanggar yang didirikan oleh Djaduk Ferianto, Butet Kertaredjasa dan Purwanto itu, Kua Et juga mampu menyuguhkan dagelan. Itulah yang sesungguhnya saya dan penonton di auditorium TIM cari.

Simak saja misalnya seperti: "Berhubung saya sudah pasrah pada negara ini dan pada orang-orang di Parlemen...maka saya akan berhenti memakai Saxophone. Saya lebih suka sax (baca: seks) ketimbang Saxophone,"ujar Djaduk dengan suara datar syahdu. Ia duduk bersila sembari ditangan kanannya memegang Saxophone. Tanpa ragu penonton riuh rendah tertawa. Malahan ada penonton yang bertepuk tangan. Kelakar khas anak dari seniman sohor Bagong Kussudiardja itu mengingatkan saya pada lelucon yang sering disampaikan Bill Saragih semasa ia hidup. Leluconnya mirip....persis. Tapi tak membuat orang yang mendengarnya bosan. Malam itu Djaduk merupakan bintang tamu bersama Trie Utami.

Atau dagelan lainnya misalnya terlihat spontan dan terkesan alami seperti ketika mereka berjajar memainkan nada yang dihasilkan dari tepuk tangan. Nada yang dihasilkan dari tepuk tangan itu menyajikan ragam nada baru dari genre pakem musik formal. Ketika sedang memainkan nada, ada salah satu personilnya yang "salah" bertepuk tangan. Sehingga bila nada yang dia hasilkan dari tangannya digabung dengan nada yang dihasilkan dari tangan teman lainnya, akan menciptakan rangkaian nada yang lucu. Lagi-lagi penonton terpingkal-pingkal.

Intinya menonton Kua Et adalah have fun dan main-main. Betul apa yang dikatakan oleh Purwanto ketika ia menyarankan pada penonton ketika diawal acara supaya tidak terlalu serius memaknai pentas malam itu. "Ojo serius-serius,"ungkap pentolan Kua Et yang sekarang lebih banyak diminta bantuannya mengelola Kua Et. Memang tidak perlu mengernyitkan dahi sambil menopang dagu tanda ekspresi berpikir. Tidak seserius itulah. Tapi penonton tidak lantas sibuk mengobrol dan berisik. Ketika drum mulai diketukkan dan berdentam, bonang, saron, gong mulai didengungkan, seketika itu jua penonton seolah tersihir. Mata mereka menatap lekat Purwanto dan kesembilan kru lainnya menabuh gamelan.

"Di dunia ini cuma mas Purwanto-lah yang mampu menabuh sembilan bonang dalam waktu bersamaan,"ucap Trie Utami. Memang saat itu Purwanto berada ditengah-tengah sembilan bonang. Lelaki gondrong kelahiran Gunung Kidul, 12 Januari 1967 itu menabuh Bonang dengan penguasaan lihai. Suara tabuh yang terdengar menunjukkan bahwa penabuhnya sudah sangat dekat dengan alat musik itu.

Malam itu sungguh menjadi penawar atas kekangenan saya akan ruang eksplorasi mendalam yang mempertemukan musikalitas dan dialog-dialog spontan yang "ndeso". Kua Et berhasil mempertemukan musik tradisi dan musik modern dengan selingan banyolan segar.

Kua Et merupakan klangenan. Hal-hal seperti itulah yang seringkali membuat saya selalu ingin pulang ke Jogja.

No comments: