Tuesday, July 29, 2008

Ulang Tahun Ibu

Bulan Juli adalah bulannya Ibu dan adik saya. Ibu berulang tahun tanggal 23 Juli. Sedangkan Yuda, si bontot, kelahiran 28 Juli. Keduanya merupakan orang yang sangat saya sayangi. Walaupun seringkali muncul perbedaan pendapat diantara kami, namun dalam diam, masing-masing dari kami tahu dan sangat mengerti: ada rasa kasih dan sayang yang tersemat hangat.

Bagi saya Ibu adalah sosok panutan. Kalau harus menengok jauh kebelakang, ada rasa sesal tersembul. Ingat akan kenakalan saya pada usia belasan tahun, jadi bikin seddih. Seddih, rasanya, kok saya tega, ya melakukan hal-hal yang mengkhawatirkan beliau.

Melihat kiprah Ibu, tidak hanya melihatnya menjadi wakil biduk rumah tangga. Sungguh, saya belajar banyak hal pada Ibu yang tahun ini usianya bertambah menjadi 53 tahun. Beliau adalah seorang ibu pekerja. Tak diam berpangku tangan hanya menunggu pemberian gaji dari Bapak. Dulu saya sering merengek dan pura-pura menangis. “Kenapa sih Ibu harus kerja. Aku kesepian, Buuu,”ujar saya memelas dan akhirnya menangis sesenggukan. Berbagai alasan dikemukakannya. Gaji Bapak sebagai karyawan BUMN tidak mungkin mencukupi seluruh kebutuhan ketiga anaknya.

Lama kelamaan, sebagai anak kecil yang sedang meraba-raba kehidupan sesungguhnya, mulai mengerti. Begitu banyak sisi yang bisa dicontoh dengan mempunyai ibu pekerja. Bagi saya, Ibu memang ibu yang super. Sebelum berangkat kerja, Ibu pasti akan memasak makanan untuk sarapan pagi seluruh keluarga. Setiap anak-bahkan Bapak-harus membawa bekal. “Jangan dibiasakan jajan diluar,”ucap Ibu seringkali menasihati. Karena itulah, setiap malam, Ibu selalu meracik bumbu untuk dimasak keesokan harinya. Untuk hal ini saya acungi empat jempol tangan deh, kalo ada. Bukan apa-apa. Capeknya itu loo. Ga kebayang-kan betapa lelahnya mengerjakan pekerjaan kantor. Belum lagi ketika pulang, kadang harus dijejali masalah salah satu anaknya yang bandel. Belum lagi ditambah rutinitas wajib-nya yaitu mengoreksi PR sekolah ketiga anaknya. Belum lagi ini dan itu.

Hal yang sangat mengharukan tentang si super mom itu adalah ketika saya sakit, dan harus istirahat di rumah. Tiba-tiba pada waktu jam makan siang, Ibu pulang dari kantor dan membawa makanan untuk saya. wah, terharu sekali. Saya tahu, jarak antara kantor Ibu dengan rumah tidak bisa dibilang dekat. Setelah mendulang saya makan dan menancapkan ciuman dikening putri tunggalnya ini, Ibu pamit kembali ke kantor.

Atau dilain hari saya menjadi sangat terharu. Ketika itu saya harus mengikuti bimbingan belajar kelas VI SD. Karena waktu pelajarannya sampai sore, setiap anak disarankan oleh guru untuk membawa bekal makan siang. Ibu dengan susah payah meminta izin pada atasannya untuk mengantarkan bekal makan siang ke sekolah. Saat itu saya merasa malu pada teman-teman. Kok, sudah besar, makan siang saja pakai diantar ke kelas. Tapi, sebetulnya jauh dilubuk hati terdalam saya menangis terharu. Begitu besar perhatian Ibu pada anaknya.

Hal-hal kecil seperti itulah yang membentuk karakter saya sekarang. Karena Ibu-lah kini saya sangat menghargai masakan rumah. Bahkan sampai sekarang-pun, saya membiasakan bekal makanan sendiri. “Orang yang suka makan masakan rumah adalah orang yang menghargai apa arti keluarga,”ucap Bapak pada suatu saat.

Sifat Ibu sangat bertolak belakang dengan saya. Melankolisnya itu lo, bok! Sedangkan saya adalah tipe gadis yang santai dan suka tantangan. Pernah ketika lomba paduan suara di SMU, saya harus pulang larut malam. Buat saya tidak masalah. Saya punya alasan yang kuat kenapa harus pulang malam. Begitu sampai di depan rumah, Ibu sudah menunggu saya dengan tatapan sedih, cemas, dan mata yang sembab. Sudah tertebak, serentetan pertanyaan diluncurkan pada saya. “Pulang sama siapa? Ngapain aja pulang selarut ini? Kok bisa ga ngabarin Ibu? Kalau ada apa-apa gimana....???,” ucapnya. dan akhirnya keputusan final-nya: “Mulai besok ga ada lagi latihan paduan suara,” TITIK tanpa koma.

Semangatnya memasukkan ketiga anaknya les mengaji Al-Qur'an juga membuat saya semakin menyayangi beliau. Sampai sekarang Ibu terbata-bata mengaji. Tapi beliau tidak pantang menyerah. Prinsipnya adalah walaupun beliau tidak bisa mengaji, ketiga anaknya tidak boleh seperti dirinya. Kesabarannya membimbing Bapak untuk sholat juga adalah salah satu hal yang membuat saya menyesal ketika mengingat ucapan pedas saya telah menyakiti Ibu.

Yaahhh, apapun itu....saya sangat mencintai beliau. Karena beliau-lah -salah satunya-, saya bisa hadir dimuka bumi ini dan merasakan nikmatnya hidup. Karena beliau-lah saya mengerti bagaimana seharusnya ibu rumah tangga bisa membagi waktu antara pekerjaan kantor dengan keluarga. Karena bunda saya itulah kini saya mengerti konsekuensi menjadi ibu pekerja. Sungguh, semuanya yang hadir disekeliling kita, tidak ada yang sia-sia.

Selamat ulang tahun, Ibu...
cup...cup.

No comments: