Friday, July 18, 2008

Belajar dari Diana Santosa



Melihat SWA yang baru beberapa hari lalu terbit, jadi teringat dengan Ibu Diana Santosa, pewaris tahta Batik Danar Hadi. Foto putri kedua dari pasangan H. Santosa Doellah dan Hj. Danarsih itu menjadi cover SWA edisi Juli 2008.

Ingat Danar Hadi juga jadi ingat Teres, teman satu organisasi penerbitan di kampus dulu. Dulu pernah ketika sedang ke Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), saya bertemu Teres bersama kekasihnya, Adi, di pelataran BBY. Adi sendiri memang bekerja di kawasan BBY. Waktu itu Teres sedang memperlihatkan pada Adi tanda ACC skripsinya tentang Batik Danar Hadi. “Riri, skripsiku tentang Batik Danar Hadi di ACC sama dosenku,”ucapnya bungah.

Kali ini fokus tulisan saya adalah tentang manajemen PT. Batik Danar Hadi. Pertama kali melihat dan akhirnya penasaran bertemu dengan Diana Santosa adalah sesusai membaca profilnya di Kompas minggu, tahun lalu. cantikkkkkkk banget. Ya, gimana sih cantik-nya perempuan Solo gitu loh. ayu. Dengan rambut yang tergerai sepunggung, Ibu Diana tampak anggun. Kayaknya ngga dandan aja udah ayu banget.

Dulu teman kos saya asal Solo pernah membanggakan diri. “Pokoke, cah Solo ki ayu-ne bedo,”ungkap mbak Nois pada Arin dan saya. Arin sahabat saya yang besar di Wonosari,malah mendebat. “Halah. yo podo wae,”ucapnya sambil tertawa. .he..he.he ya terserah dah. Saya merasa perdebatan itu tidak penting. Berdebat atau tidak, saya sendiri tetap memiliki fisik yang standar banget...bahkan mungkin cenderung dibawah standar. Kagak bisa dirubah. ya, gitu-gitu aja. ha.ha.ha

Ngga nyangka sebulan lalu justru saya yang mendapatkan kesempatan wawancara dengannya. Lebih ngga nyangka lagi ketika kalimat pertama mengenai perbedaan manajemen dengan Bapak-nya meluncur darinya. “Kenapa you tawari saya cuma segini, Pak. Padahal ditempat lainnya saya dapat lebih besar,”ungkap Diana tanpa tedeng aling-aling ketika Bapaknya memintanya mengurusi bisnis batik dan menawari gaji sebagai Managing Director. Saat itu saya cukup terhenyak. Wajah yang terkesan kalem dan lembut ternyata justru tidak membuat dia sebagai perempuan Solo yang pasif. Ibu dua putra itu tidak sungkan mengeluarkan kata-kata spontan.

Lebih terhenyak lagi ketika dalam perombakan manajemen organisasi perusahaan, Diana berani menggeser orang kepercayaan sang ayah. Orang itu dianggap sudah tidak produktif lagi. “Saya mikir bagaimana caranya supaya bisa menggesernya tanpa membuat sakit hati,”ulasnya. Kalimat demi kalimat yang meluncur semakin mengukuhkan Diana sebagai perempuan tangguh, tegas dan tanpa kompromi mengatur perusahaan. Tanpa kompromi disini maksudnya adalah semuanya harus terukur.

Pola manajemen terukur diterapkannya dengan menggunakan sistem penilaian kinerja diatas kertas pada seluruh karyawan. Tidak ada lagi subyektifitas penilaian karena kedekatan personal antara pemilik perusahaan dengan karyawan.

Seringkali pola pikir antara kaum muda dengan generasi lebih tua, banyak bersebrangan. Ketika Pemilu 1997 berakhir ricuh, penjualan Batik Danar Hadi sampai pada titik terrendah. “Kamu tentu orang yang tidak tolol. Seharusnya bisa dong memprediksi-kan jika terjadi seperti ini,”ucap Diana menirukan perkataan ayahnya 11 tahun lalu. “Waktu Bapak masih bicara, saya mberesi barang, lalu keluar dari ruangan itu. Saya sudah ngga kuat lagi,”ulasnya tersenyum manis mengingat perdebatan alot kala itu.

Saya hanya bisa menahan napas karena saking serunya mendengar Ibu Diana bercerita. Sungguh, perempuan kelahiran Surakarta 21 November 1969 itu mengajarkan saya banyak hal. Terutama belajar menghadapi perbedaan pendapat dengan orang tua. “Akhirnya saya menyadari. Bapak tidak mau dilawan dengan frontal. Siapapun tidak mau dipermalukan,”ucap Diana yang terburu-buru pergi ke bandara dengan tujuan Solo.

1 comment:

NaNo BizN said...

Saya pribadi, melihat sosok fisik dan cara melayani berbicara tamunya...sepertinya tidak akan ada laki-laki yang tidak tertarik..pingin sekali bisa bekerja bareng Diana entah jadi apanya...