Thursday, September 04, 2008

Guru Shaolin Kami, Yang Laoshi



Awalnya kami bertiga: jie Meilind, Rikka Mei-mei dan saya hanya bisa terbengong ria. Hari itu kami kedatangan guru baru dari Zongguo (baca: cungkuo=Cina). Yang Laoshi (baca : laoshe= guru) merupakan panggilan hormat kami padanya. Dialah yang menggantikan Liu Laoshi yang pulang ke provinsi Shecuan, Cina dua bulan lalu.

Si guru ganteng itu betul-betul membuat kami bengong. Tutur kata-nya cepat sekali. Logat Beijingnya yang kental justru tidak membuat kami berhasrat ingin berbicara seperti dia. Hal ini berbeda dengan ketika kita berhadapan dengan penutur asli bahasa Inggris. Yang Laoshi berbicara justru terkesan seperti orang kumur-kumur. "Opo tho jarene. Aku ki ra mudeng,"ucap jie Meilind kesal. Ibu berumur 68 tahun harus memicingkan matanya dan mencondongkan badannya agar ucapan Yang Laoshi tidak terdistorsi terlalu lebar. Jie Meilind yang juga keturunan Tionghoa-Wonosobo itu, sedikit menaikkan kacamata plusnya pada batang hidungnya

Kemudian Jie Meilind bertanya: "Ni shi na ren? (Asal kamu dari mana)" Namun, entah bagaimana kok pemuda berumur 20 tahun itu malah kebalik ga ngerti. Mungkin karena nada pengucapan kami tidak pas. Dalam bahasa Mandarin, meski kata yang diucapkan sama, tapi salah nada pengucapan, bisa berarti berbeda. Akhirnya kami menggunakan bahasa Inggris. "Where do you come from? What city?" Tiba-tiba jawabannya ajaib. "CD? ooo, Guangpan (baca: kuangphan)" Jawaban itu lebih ga nyambung lagi. Karena guangpan sendiri berarti adalah Compact Disc alias CD. Yang laoshi mengira kami bertanya bahasa mandarin dari kepingan musik.

Hari pertama selama 1.5 jam pelajaran tersebut penuh kesimpangsiuran. Kami bertanya B..eee.Yang Laoshi menjawab D. Begitulah. Menggelikan sekali. Tapi serrruuu banget. Terutama kami bertiga sering "menggodanya". eitts, jangan ngeres dulu pikirannya. Maksudnya, kami sering membicarakannya dengan bahasa Indonesia. "eee, Rikk, kayyak Shaolin muda, ya dia,"ucap saya pada Rikka mei-mei. Tapi jujur. Dia sosok yang menarik. Saya mencoba mencari persamaan antara bhiksu Shaolin dengannya. Tulisan hanzi-nya (baca: hantse= tulisan mandarin) itu loohhh, wush-wush sudah seperti penulis kaligrafi profesional, cepat dan rapi. Goresannya meliuk tajam dan sangat menggambarkan pemuda tionghoa yang artistik.

Pun begitu, pemuda yang dikirim menjadi guru lewat Kedutaan Besar Cina di Indonesia tak bisa menghilangkan kekanak-kanakkannya. Kalau ia merasa apa yang diucapkannya konyol, maka ia akan terlihat grogi. he..he..he, dia salah masuk kelas kali yaaa. Yaiiiyalahhh, masuk ke sarang tiga pendekar wanita geto loh. Kalau sedang tertawa atau bahkan hanya tersenyum saja, matanya hanya berbentuk segaris.

Untungnya kami bukan murid jahil. Sampai sekarang masih agak sulit untuk mbercandain dia. lha wong bahasa inggrisnya kurang lancar. Sedangkan murid-muridnya masih bebal mengucapkan mandarin.

Tapi saya masih mengingatnya ketika akan memasuki kelas 1 pada hari terakhir kami. "Ni hao! Ni lai wan le (Halo, kamu telat),"ucapnya diluar gedung tempat kami belajar. Saya yang awalnya mau masuk dan ingin segera berlari, tiba-tiba terhenti dan memaksakan menengok keluar. "Ni hao! Duibuqi, wo lai wan le (tuipuci, wo lay wan le= maaf, saya terlambat),"ucap saya. Sempat terdengar sayup : "Meiguanxi (meikuansi=tak mengapa),". Akhirnya saya harus segera pamit untuk naik ke ruangan atas. Chen Laoshi sudah menunggu saya.
Hiks..hiks, semoga kelas berikutnya bertemu lagi dengan Yang Laoshi.

No comments: