Friday, January 04, 2008

Cerita Dari Sudut Jendela





Kereta api adalah sarana belajar hidup. Gerbong panjang berusia puluhan tahun merupakan tempat mengurai makna. Saya selalu menyukai kereta api. Menggunakannya sebagai alat transportasi sungguh menyenangkan. Selain hemat biaya juga membuat kita bisa lebih dalam melihat realitas kehidupan.

Bukan berarti ketika menaiki tumpangan lainnya kita tidak bisa melihat kehidupan. Menggunakan transportasi darat, laut dan udara lainnya-pun, mata kita tetap dibukakan pada kenyataan kehidupan. Hanya saja realitas kehidupan tergambar dari angle yang berbeda.

Duduk dibangku kereta sebenarnya tidak melulu membuat saya duduk manis. Tangan saya pasti sibuk memformat dan mencari posisi pas untuk menjepret dibalik kaca kereta yang berdebu dan agak buram. klik disini..saya menekan tombol capture. Selesailah satu gambar terdokumentasikan. klik disana..lengkaplah kepuasan saya mengabadikan sisi lain kehidupan.

Saya mendapatkan apa?

Saya mendapatkan cerita bahwa ada sawah petani yang terendam air hujan padahal bila itu tidak terjadi, mereka bisa bersuka cita memanen padi.

Saya juga mendapatkan cerita bahwa ada orang-orang yang saking seringnya mendengar deru kereta-karena rumah bersebelahan dengan jalur kereta api-mereka malah jadi kebal dengan kebisingan kereta. Kawasan perumahan kumuh menjadi bingkai kehidupan dipinggiran jalur kereta.

Rumah-rumah triplek bersejajar dengan rumah tembok permanen. Kedua jenis rumah tersebut saling melengkapi dalam alunan nafas bumi. Jemuran baju terpampang disudut-sudut rumah. Namun, mereka tetap bisa tertawa. Bahkan di gang sempit berdiameter 1,5 meter, yang memisahkan letak rumah satu dengan lainnya, para ibu muda saling mencandai anak balita mereka.

Kawan, tak perlu heran mendapati hal semacam itu. Dalam hati miris menanggung kenyataan yang harus dihadapi, tetap ada senyum tersungging dan tawa ceria. Di suatu perjalanan kereta Jakarta-Bandung, saya masih bisa mengabadikan keceriaan sekelompok anak muda berkejaran, menggiring bola. Di tanah yang cukup lapang, bersebelahan dengan kawasan pabrik dan perumahan petak, masih ada semangat. Bahkan mereka rela dihujani oleh rintik dari langit sekadar "mengejar dan menggenggam" semangat tersebut.

Dalam sekelebatan penglihatan yang dibatasi oleh kaca jendela retak, saya tak luput mendapati kesan tersebut. Mata saya tak hentinya merekam panggung sandiwara itu. Mereka orang-orang tangguh, kuat dan tegar. Sesungguhnya itulah mereka. Namun, lambat laun tersingkir oleh dinamisasi gerak dunia yang semakin hedon dan tidak memberdayakan.

Mereka kaum marjinal. Kaum yang terbentuk akibat keegoisan "wong kuto". Betul, mereka sekarang menjadi orang kota juga. Tapi perlu diingat, ada kesenjangan sosial yang begitu jauh. Bila mata rantai sebab-akibat coba diurutkan satu persatu, keterpurukan mereka disebabkan karena kurangnya akses pendidikan. Porsi pelayanan pendidikan antara ibu kota dengan daerah lainnya berbeda.

Saya sedih. Kesedihan saya bukan hanya karena melihat kenyataan tersebut. Kepiluan saya terutama karena saya belum berbuat apapun untuk membantu mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Cerita di balik jendela retak membuat hati terkoyak. Namun apa daya tangan tak sampai...

There's a way to solve problem. Let's give them a hand with our support.

2 comments:

Yusuf Alam Romadhon said...

dari sela-sela ngawasin ujian semester I give comment to your post... he he he

senja said...

postingannya yang keren...