Tuesday, March 25, 2008

Obituari Mbak Ida



Untuk Mbak Farida yang lebih dulu pergi

Aku tak'kan pernah bisa melupakan bongkahan kenangan ketika kami menonton film Berbagi Suami di kamarnya.

Saat itu mbak Ida meminta-ku naik tempat tidurnya. Duduk bersejajar dengannya dan menatap kearah televisi di kamar kos-nya. Sesekali kami tergelak manakala melihat adegan gokil, ra nggenah, tipu muslihat yang dilancarkan para suami mata keranjang itu pada para isteri. "Wakakakakkaa, mau poligami ya kok ngono,"tawa mbak Ida berderai. Aku tahu, deraian tawa itu takkan lama. beberapa jam lagi, pasti mbak Ida akan mengeluh sakit disekitar mulut dan lidah. Operasi kanker lidah itu belum benar-benar tuntas melepaskan cengkeraman daya sakitnya yang luar biasa. "Mbak, kapan lagi kemoterapi-nya?"tanya ku disela-sela menonton film. Jadwal rencana periksa ke dokter di RS. Dharmais akhirnya meluncur dari mulutnya yang tidak bisa mengeluarkan vokal bulat penuh.

Dilain waktu, kami pernah punya kenangan. Sebelum vonis kanker lidah diketokkan palu oleh tim medis, kami pernah bercerita ngalor ngidul. Kira-kira itu dibulan pertama aku kerja di SWA. Cerita kami berputar tentang kampung masing-masing, tempat tinggal, kuliah sampai kegiatan mahasiswa yang pernah dijalani. Ternyata mbak Ida cukup aktif di kegiatan mahasiswa fotografi dan Koperasi Mahasiswa (Kopma) di kampusnya. "Itu duluu, Ri,"ucapnya merendah. Mbak Ida cukup bangga dengan unit fotografi almamaternya yang katanya sebagai penyumbang aktif para pawarta foto di berbagai media massa.

Dia kangen dengan kampusnya. "Memang kampus mbak itu seperti apa tho? Waktu aku di Jogja, sama sekali belum sempat main kesana,"dengan polos aku bertanya. "Kampus-ku itu...gini,"ucap mbak Ida sambil mengacungkan dua jempol, tanda bahwa kampusnya itu sangat oke dan siip. Dalam memorinya, UNS sebagai almamaternya terletak didataran yang agak berbukit. Penuh dengan pohon rindang. Wah, aku ga tahu deh kalau sekarang apakah keadaannya masih sama.

Rencana kami berdua yang belum kesampaian sampai sekarang dan untuk selamanya adalah berburu baju sisa ekspor di Pasar Senen. Aku tertarik bangetss kesana karena kita akan menemukan pakaian yang aneh, unik, bahkan branded tapi dengan harga yang luar biasa ngga masuk akal murahnya. "Ini aku beli baju cuma Rp. 10 ribu. Trus Yuni tak kasih tahu, bisa beli blazer harganya kurang dari Rp. 10 ribu," haaaa. aku cuma melongo. "Ning yo kui, Ri. Kita mesti merendam diair mendidih bajunya supaya nggagatel-gatel, urainya. Kami banyak mendengar, artis seperti Jamie Aditya, Naif, juga berburu pakaian dan barang aneh disana. "celana jeans Jamie Aditya aja yang dibuat tahun 50-an dan sekarang ga keluar lagi, belinya disana dan murah,"mbak HBR ngomporin.

Yah..mungkin kami memang tidak berjodoh untuk sekadar kongkow-kongkow. Keinginan untuk ke Senen pupus sudah. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana bisa mendapatkan barang yang bersih, fashionable tapi harga miring. Ya, ke ITC-lah jawabnya ;)

Tapi bener lo. Senen dan baju sisa ekspornya menyimpan memori khusus tentang mbak Ida. Aku bersyukur sempat menengoknya untuk terakhir kalinya bersama teman-teman. Aku juga beruntung bisa menemaninya minum jus yang dengan susah payah ditelannya. Ditengah rintikan hujan hari sabtu siang, aku masih diberi kesempatan oleh Allah melihat kuasa Nya.Mbak Ida mengeluh. Lidahnya terasa sangat perih menerima asupan makanan. Tegukan jus semangka sesekali dimuntahkannya. Tapi akhirnya mbak-ku yang baik hati itu mampu menghabiskanya. Jus tandas dalam waktu 30 menit.

"Waktunya tidak sampai sebulan lagi,"ucap seorang teman yang bisa menerawang perkiraan batas hidupnya. Kami tertegun.menunduk.pasrah.mungkin itu yang terbaik untuk mbak Ida. dan ternyata memang yang terbaik adalah jalan yang sekarang dilaluinya.

Ketika kami untuk terakhir kalinya melihat-nya sebelum dimasukkan dalam peti jenazah dan diboyong ke Salatiga, kami masih melihat ketegaran di raut wajahnya. "Ida, anakku yang paling cantikk.Ibu ada disamping-mu,"ujar Ibu kandung mbak Ida sembari mengusap wajah putri kedua-nya diiringi linangan air mata.

Selamat jalan mbak Farida Nawang Nurini
Semoga tenang disisi Allah.

Terimakasih untuk sejumput kenangan indah yang pernah kita lalui bersama....

1 comment:

rina suci said...

sama halnya kaya Riri, aku juga punya banyak kenangan manis dengan mbak Ida...

Kata orang SWA, kita dijulukin saudara kembar.. katanya sih mirip dan kebetulan ulang tahun kita sama..