Saturday, April 19, 2008

Menengok Eyang -Part II-

Kemarin sore saya habis bertelepun ria dengan Pak Arvan. Dia bercerita bahwa kesibukannya menggodanya untuk langsung istirahat dan mengurangi intensitas bercengkrama dengan keluarganya. "Bayangkan, ri, selama kurang lebih 8 sampai 10 jam saya berdiri memberi ceramah. Pulang kerumah badan sudah sangat pegal,"ungkap si Bapak ituh.

Namun rasa lelahnya tidak membuatnya melupakan ketiga anak-anaknya yang berumur 9 tahun 7 tahun dan 2 tahun. "Mereka paling suka saya dongengkan,"cetusnya dari seberang telepon. Dasar anak-anak sangat kreatif, mereka justru ingin agar Pak Arvan juga kreatif mengarang cerita yang baru setiap malamnya. Si sulung malah tidak mau mendengar certa yang berasal dari buku cerita anak. Walhasil Pak Arvan berpikir keras mengarang cerita yang "fresh from the oven" selama perjalanan pulang kerja.

"Kalau hanya mengandalkan rasa lelah, saya memilih tidur saja. Tapi karena kepikiran kalau-kalau saya tidak bisa bertemu mereka lagi karena terbatasnya umur, maka saya semangat membeuat cerita baru,"ulas Arvan sumringah. Alasan yang terlontarkan oleh Pak Arvan itu merupakan alasan yang sama saya rasakan ketika akan pergi ke Jogja malam nanti.

20 April merupakan perayaan syukur ulang tahun pernikahan Eyang Jogja ke-62. Sebetulnya ulang tahun eyang itu jatuh pada lima hari sebelumnya. Namun mengingat anak dan cucunya hanya mempunyai waktu libur hari sabtu dan minggu, maka diputuskan mengadakan acara kumpul-kumpul pada hari minggu itu.

Iya, Pak Arvan benar kok. Kalau saya mengandalkan rasa remuk redam disekujur tubuh akibat over worked, maka saya bisa saja dengan santainya menolak permintaan Ibu untuk mengunjungi eyang. Sabtu malam saya pergi ke Jogja dengan Argo Lawu, dan minggu malam saya harus pulang ke Batavia dengan jadwal yang sama.

Tapi saya juga takut tidak mempunyai banyak waktu untuk sekadar menyemangati eyang berjalan menggunakan tongkat-nya. Saya takut segala marah dan kekesalan saya belum sempat dimaafkan oleh eyang. Saya khawatir ini dan itu...

Saya tahu bahwa doa orangtua lebih cepat di kabulkan oleh Allah. Dan justru saya merasakan manfaat langsung berasal dari doa eyang Uti ketika beliau dirawat di RS. Sardjito tiga tahun lalu, "Tak dungak'ke iso oleh gawean sing pener,"kata eyang Uti ketika saya membantunya mlapah-mlapah menuju kamar mandi. Waktu itu saya cukup terkesiap dan terharu. Selama lebih dari seminggu saya menemani eyang di Sardjito, sama sekali tidak terbesit akan didoakan karena budi baik saya pada eyang. Kebetulan ketika eyang dinyatakan naik tekanan gula darahnya, itu tepat sebulan ketika saya sudah selesai revisi pendadaran.

Dua bulan seusai doa itu terucap spontan, saya langsung dinyatakan diterima disebuah media di Jakarta dengan waktu tes hanya sehari. Bukan main kekuasaan Allah. Kadang saya malu juga karena pernah bercerita pada teman tentang bagaimana eyang sangat menghargai uang. He.he.he, malah cenderung pelit. Ngga ada maksud apa-apa kok ketika itu. Justru tingkah laku eyang sebagai perempuan Jawa dari cucu yang sangat tidak njawani, lucu banget. Sebetulnya saya bercerita karena saya sayang sama eyang...

"Mbiyen aku dodolan mbatik, mlaku seko kidul nganti Mbringharjo,"ungkap eyang mengingat kegetirannya dimasa muda dulu. Eyang dulu juga bisa disebut juragan arang di Malang karena gaji eyang kakung sebagai tentara tidak mencukupi.


sssstttt, to be continue yeeee, aku ngantuk mau bobo dulu...temen2 kantor udah pada pulang. Go home yuks

“Kebersamaan dengan keluarga merupakan hal terpenting yang tidak bisa diulang ketika masa itu terlewatkan begitu saja.

1 comment:

Anonymous said...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the TV de Plasma, I hope you enjoy. The address is http://tv-de-plasma.blogspot.com. A hug.